Tentang Perasaan…

Posted: 23 Januari 2015 in di sudut rasa

Perasaan seseorang kadang lebih sulit dimengerti dari pada apa pun. Bisa saja, pada suatu ketika dia seperti memberimu harapan. Namun  pada waktu lain dia seolah tidak tertarik padamu sama sekali. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Namanya juga perasaan, tidak ada perasaan yang statis. Bisa saja berubah seketika. Bisa saja berbalik arah. Begitulah perasaan diciptakan. Terjadi begitu saja, kadang mengikuti momen. Kadang sama sekali tidak bisa ditebak. Karena itu janganlah menebak-nebak perasaan dia kepadamu.

Banyak orang patah hati di dunia ini bukan hanya karena cinta tidak terbalas. Namun dia dihukum oleh tebakannya sendiri. Menebak seolah seseorang itu sayang kepadamu. Padahal dia memang orang yang baik kesemua orang. Kalau sudah begini. Siapa yang akan disalahkan? Juga tidak ada yang bisa disesalkan. Oleh sebab itu, janganlah menebak-nebak untuk urusan perasaan. Bertanyalah langsung. Atau kalau tidak berani. Setidaknya jangan menebak-nebak apa yang ada di dada dan kepalanya.

537831_587205037965542_1815396872_n

Urusan perasaan kadang memang  begitu rumit. Sebenarnya bukan perasaan  yang rumit. Namun kau dan pikiranmu yang membuat rumit. Kau membuat semuanya menjadi  teka-teki. Kau ajukan pertanyaan kepada dirimu sendiri. Padahal yang kau harapkan adalah jawaban atas perasaan yang dia rasakan. Mana mungkin bertemu jawaban yang sebenarnya.

Sebab itu, janganlah terlalu sering menerka-nerka. Kadang kau akan merasa sangat kecewa. Kalau nyatanya apa yang kau lihat bukan hal yang sebenarnya. Jika kau tidak berani menanyakan perasaannya. Setidaknya cukup kendalikan perasaanmu. Karena urusan perasaan adalah urusan serius. Kalau kau tidak mampu mengendalikannya, kau bisa saja dihancurkan perasaanmu sendiri. Kalau sudah bisa mengendalikan perasaanmu, semuanya akan berjalan baik-baik saja. Untuk urusan perasaan dia, biarlah begitu saja. Kalau kau memang tak sanggup bertanya kepadanya. Percayalah, suatu hari nanti dia akan menyatakan kepadamu, atau waktu akan menghapus perasaanmu padanya.

©RinZ, 23 Jan 2015

Tentang Cinta, Rahwana…

Posted: 20 Januari 2015 in coretan puisi

Mengenalmu dalam hidupku

seperti aku menemukan lembaran cerita baru sebagai pelengkap kisahku

Yang olehmu, kau balut dengan ketidak sempurnaanmu untuk menjadikanya sempurna

Seiring fajar berrela hati berganti terik dan senja,

aku mulai memandangmu sebagai kisah paling indah diantara bagian lainya

Hingga aku mulai lupa dengan lembar yang pernah hilang,

hingga aku mulai senang untuk merampungkan kisah itu denganmu

Hingga aku melupakan alur yang pernah aku rencanakan dalam angan semu

Kau sudah berani hadir dalam hidupku seperti malam yang memaksa mentari untuk terbenam…

Rama_Shinta_Rahwana

Jika cerita itu adalah tentang Rama-Shinta

maka kau sudah berani mengubahnya menjadi Rahwana-Shinta

Lalu aku berfikir andai Rahwana berjiwa Rama, akankah sang Shinta jatuh cinta?

Mulai saat itu, aku ingin merajut kembali kisah cinta yang nyata

Antara Rahwana dan Shinta

©RinZ, Jan 2015

Rahwana Gugat…!!

Posted: 20 Januari 2015 in coretan puisi

dasamuka2

Tuhan,
Bila cintaku ini salah
Kenapa kau bangun megah rasa itu di hatiku
Untuk gadis di seberang takdirku…

Tuhan,
Bila cintaku ini keliru
Kenapa kau buat hujan rindu selebat ini di setiap hariku
Untuk gadis di seberang takdirku…

Tuhan,
Bila cintaku ini jahanam
Kenapa kau buat angan dan harapan sebesar ini
Untuk gadis di seberang takdirku…

Tuhan,
Bila cintaku ini terkutuk
Kenapa kau buat aku takluk terpuruk dan membusuk
Untuk gadis diseberang takdirku…

Tuhan,
Bila cintaku ini palsu
Kenapa kau buat begitu nyata indahnya dia dan dalamnya rasaku
Untuk gadis di seberang takdirku…

Tuhan,
Bila cintaku ini terlarang
Kenapa kau biarkan hangat kasihnya sempat mampir di hidupku
Untuk gadis di seberang takdirku …

Tuhan,
Apakah hidupku yg cuma satu kali ini sangat begitu remeh bagimu hingga cuma kau jadikan permainan dan telenovela untuk tontonan dan bahan tawamu?
Jawab aku jangan dengan kata bijak dan kitab sucimu…

*) Inspired by #Aku Lala Padamu #Talijiwo #SujiwoTedjo

©RinZ, Jan 2015

 

Tentang Aku dan Kamu

Posted: 19 Januari 2015 in coretan puisi

Langkahku terhenti saat hati mulai mencair karena rindu…
Tataplah mentari, karena kini semuanya harus kita akhiri
Genggamlah jariku, karena mungkin kita tak mungkin kembali ke masa-masa ini…
Peluk tubuhku ini, karena sungguh… aku ingin…

Jujur… dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku katakan…
Aku sayang kamu… Aku cinta Kamu… Aku akan selalu rindu padamu…
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padamu
Hingga buatlah kamu benci padaku karena perasaanku ini!!

rs

Sampai kusadari, aku bukanlah orang yang kau cari…
Aku bukanlah pangeran dalam mimpimu…
Aku bukanlah pembawa bahagian di masadepanmu,
Aku hanya seorang pemimpi, yg dapat halangi kamu untuk temukan cintamu yang lain…

Aku tak bisa menjadi tanpa batas dimatamu
Akupun tak bisa selalu ada disisimu saat kamu butuh aku
Aku tak bisa janjikan waktu-waktu indah untuk kamu
Aku sadar benar, semua ini menyiksamu… aku dan kenangan-kenangan kita

Bila kita tak mungkin lagi bersatu…
Sungguh…
Aku akan tetap berusah selalu ada untuk kamu
Walau tak mungkin lagi hatimu utuh untukku…

Semoga kamu temukan cinta sejatimu, tanpa batas… hingga dunia tau…
Sesungguhnya ada ruang di dalam mata indahmu…
Ruang yang hanya pantas diisi dengan cinta tulus dengan hati…

Terima kasih, untuk semua sayang dan cintamu… yg membuat aku akan sangat kehilanganmu…
Jangan lupakan aku… sungguh, kisah ini jadi penggalan manis dalam hidupku,
Walau “kita cukup sampai disini…”
Mungkin, Sampai aku kembali lagi…

Mungkin…

©RinZ, Jan 2015

Hanya ada dua kesalahan dalam jurnalisme. Pertama, mengungkapkan keadaan tidak sesuai fakta. Kedua, melanggar hukum. Pelanggaran etika berada di luar itu, dalam wilayah abu-abu yang bersifat relatif. Etika bergantung pada penghayatan untuk norma yang menjadi konsensus masyarakat. Ia tidak mengenal sanksi, kecuali teguran dan cela. Karena itulah semua hal yang menyangkut kepatutan dalam jurnalisme menjadi topik yang senantiasa diwarnai tarik-ulur dalam berpendapat.

air-asia4

Begitu terbetik berita tentang pesawat AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura hilang kontak Minggu (28/12/2014) pagi, segera terbuka kemungkinan munculnya persoalan “yang patut versus yang tak pantas” dalam laporan tentang peristiwa itu. Kejadian ini menyangkut nasib 155 manusia—18 di antaranya anak-anak, seorang di antaranya masih bayi—serta tujuh awak pesawat. Nasib manusia, oleh jurnalisme dijadikan sebagai salah satu unsur yang menentukan tinggi rendahnya nilai berita (news value). Peristiwa tersebut juga mengandung unsur drama —pesawat terbang yang tengah mengangkasa lenyap, dan baru diketemukan pada hari ketiga— yang juga menjadi unsur penentu nilai berita. Ia menggetarkan perasaan, mengandung sensasi.

Sensasi adalah bumbu penyedap dalam laporan media massa. Sikap yang mengutamakan “bumbu penyedap” di atas “gizi” sebuah laporan, dalam praktik telah mendorong bertaburannya laporan tentang musibah ataupun bencana yang disajikan bagaikan cerita yang semata-mata hendak melayani emosi manusia. Nasib buruk dipotret kian detail. Dukacita sering dilukiskan dengan kata-kata deskriptif oleh media cetak, disajikan dengan gambar serta dukungan narasi yang menembak perasaan manusia oleh televisi.

Menyangkut korban manusia, pertanyaan reporter pada narasumber biasanya menyangkut firasat, perasaan, kata-kata terakhir, kenangan yang ditinggalkan. Uraian dibumbui kata-kata pemukul sanubari —sendu, isak tangis, histeris, maut, direnggut ajal— disertai gambar yang membuat dukalara menyayat hati. Manakala itu terbaca atau terlihat di media massa, sebenarnya pada saat itu audience tengah berada di dalam pasar, tempat air mata dijadikan komoditas yang diperdagangkan.

Itukah yang dibutuhkan publik? Sebagian pendapat tidak menjawab pertanyaan ini, dan berlindung di belakang kata-kata “itu disukai khalayak.” Apakah audience menuntut atau menerima? Di situ terjadi silat lidah yang menyamaratakan apa yang diperlukan publik dengan apa yang disukai publik. Menjual sensasi demi tiras media cetak ataupun rating siaran televisi, akhirnya membuat publik yang dapat dicekoki dengan apa saja berhadapan dengan media yang semata-mata memakai ukuran bisnis sebagai patokan dalam membawakan peran jurnalisme.

Media adalah institusi sosial sekaligus institusi ekonomi. Ia harus menciptakan profit untuk bertahan hidup, yang —celakanya— sering bertabrakan dengan kepedulian sosial (mendistribusi informasi, mendidik) yang harus ia punyai. Hanya moral dan profesionalisme yang baik yang mungkin membuat kedua-duanya dapat berimbang.

Pedagang sensasi perlu tanya, apakah berita tentang musibah hanya akan disajikan dengan cara membuat publik dirundung sendu. Selera sensasional perlu diperiksa-ulang. Jangan jadikan berita AirAsia QZ8501 dan nasib buruk yang kelak bisa saja terjadi sebagai kisah yang menenggelamkan publik dalam air mata. Membicarakan semua itu dalam keprihatinan yang bernalar, membuka mata khalayak memahami bencana —lewat berbagai angle dan perspektif masalah— dan membuat keadaan buruk dapat ditiadakan atau dihindari, tidak berarti kehilangan empati atau mati-rasa.

Hanya ada dua kesalahan dalam jurnalisme: pengungkapan kenyataan yang tak sesuai dengan fakta, dan pelanggaran ketentuan hukum. Abai atau tidak merasa patut mempertimbangkan kembali apa yang pantas dan apa yang tidak patut, hendaknya tidak menjadi kesalahan yang ketiga.***

©RinZ 02 Jan 2015 (dari tulisan Masmimar Mangiang)

Bencana dan musibah datang silih berganti. Bencana jurnalisme tak kunjung pergi. Jurnalisme bencana, bencana jurnalisme!

Ilustrasi-Jurnalisme-Bencana

Setiap terjadi bencana, hujatan dan amarah selalu saja dilontarkan publik terhadap media—khususnya televisi—karena praktik cemar dalam liputannya. Kali ini, kemarahan publik kembali menderas kepada stasiun televisi yang dinilai mengeksploitasi keluarga korban hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 pada Minggu (28/12), baik dengan pertanyaan-pertanyaan reporternya yang bertendensi memainkan emosi, dan mendesak. Kamera pun dengan segera melakukan zoom in ketika sasaran bidik menagis.

Beberapa pertanyaan standar yang diajukan di antaranya; “Bagaimana perasaan keluarga korban?”, “Bagaimana jika pesawat itu benar-benar hilang?”, “Apakah ada bfirasat sebelumnya?” serta sederet pertanyaan sejenis yang diajukan untuk mengaduk perasaan narasumber.

Praktik ini sudah berlangsung lama. Dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010), saya mencatat berondongan pertanyaan seorang reporter televisi kepada seorang bapak yang anaknya terjebak dalam sekolah yang rubuh akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat, akhir September 2009. Siaran itu ditayangkan langsung, barangkali disaksikan jutaan orang, termasuk anak-anak.

Reporter itu mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat keadaan psikologis korban semakin terganggu, seperti mengenai perasaan serta andaian apabila anak perempuannya tidak ditemukan atau tewas. Saya melihat wajah sang bapak, yang tertunduk lesu. Ia tersudut. Ia hanya bisa berkata,”Semua saya pasrahkan kepada Allah.” Tetapi reporter itu tak berhenti, dan sepertinya tak melihat wajah memelas sang bapak. Ia terus mencecar dengan berondongan pertanyaan, tanpa rasa empati terhadap korban yang sedang kesusahan itu.[1]

Kekacuan juga terlihat dalam peliputan bencana—berikutnya disebut jurnalisme bencana—saat longsor melanda Banjarnegara, Jawa Tengah pada awal Desember ini. Tren peliputannya serupa, yaitu mengejar sisi dramatis dari bencana, dan minim mendorong kesiapsiagaan atau pun menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.

Beberapa liputan tentang penyebab bencana biasanya sarat spekulasi, bahkan beberapa media mewarancai paranormal demi mengejar sensasi. Ketika Merapi meletus pada tahun 2010 lalu, tayangan “Silet” (7/11/2010) disebutkan bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka, dan pada tanggal 8 November 2010 akan terjadi bencana besar dengan mewawancarai paranormal. Korban bencana letusan Merapi bertambah resah. Ratusan pengungsi meminta dipindahkan dari pos-pos pengungsian yang jauh dari lereng Merapi. Para relawan disibukkan kegiatan tambahan untuk menenangkan pengungsi yang panik.

Sebagai puncak dari kekesalan terhadap kecerobohan pemberitaan media, beberapa warga melarang media tertentu masuk dan meliput ke dusun mereka. Sebagian yang lain melaporkan tanyangan “Silet” ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), meminta agar tanyakan itu dihentikan. Yang lain mengirim surat pengaduan ke Dewan Pers soal pemberitaan bencana di media massa yang dinilai menyesatkan. Apakah ada yang lebih buruk bagi media, selain dibenci oleh masyarakat pembaca dan pemirsanya sendiri?

Dalam kasus  hilangnya pesawat AirAsia, terlihat beberapa media mulai menampilkan sisi mistis dari bencana ini. Beberapa paranormal kembali diwawancarai, untuk menjelaskan—padahal justru membingungkan—penyebab hilangnya pesawat tersebut, di mana lokasinya, hingga kapan akan ditemukan.

Komodifikasi Bencana

Kenapa amis darah dan air mata begitu lekat dengan jurnalisme bencana di Indonesia? Saya melihat akar masalah dari tampilnya tayangan seperti ini adalah cara pandang media yang memberlakukan korban bencana sebagai komoditi belaka. Dengan sudut pandang ini, maka bad news is good news. Semakin pedih tangisan korban, sebuah tayangan akan dianggap semakin ‘hebat’. Atau, dalam bahasa lain, semakin liar perang, semakin banyak kematian akibat bencana alam dan wabah, semakin banyak kelaparan, sebuah berita dianggap akan semakin ‘dramatis’ dan akan melonjakkan rating. Kenaikan rating berati iklan, dan semakin banyak iklan berarti semakin banyak laba.

Jadi, eksploitasi terhadap korban demi mengejar drama ini kerapkali dilakukan bukan karena ketidaktahuan tentang etika peliputan, tetapi juga karena kesengajaan. Wawancara saya dengan salah seorang produser stasiun televisi di Jakarta menegaskan hal ini: “Sebagai televisi berita, target utama kami dalam meliput bencana adalah kecepatan pemberitaan dan memberikan gambaran kondisi yang komprehensif. Selain itu, berbeda dengan koran atau media online, kami butuh gambar dan suasana yang dramatis untuk menarik pemirsa. Masyarakat Indonesia itu menyukai kisah-kisah melodrama. Bagi kami, rating adalah segalanya. Kalau pemirsa menyukai tayangan seperti itu kami tentu tak bisa tidak memberitakannya. Lagi pula, ini dibutuhkan untuk menarik empati bagi masyarakat untuk menyumbang korban bencana.”[2]

Rating dalam media televisi, hits bagi media online, dan tingkat keterbacaan bagi media cetak, telah menjadi panglima dalam liputan media. Semakin baru dan heboh sebuah berita, dianggap semakin tinggi kemampuannya menarik perhatian. Sebagaimana lazimnya, industri mensyaratkan adanya keuntungan atas semua langkah mereka. Inilah yang menjadi kontradiksi media; sementara publik menuntut adanya tanggungjawab sosial dari media, yang menjadi perhatian industri media adalah tingkat pendapatan laba.

Pertanyaan ini juga layak diajukan ketika media mengumpulkan bantuan lalu menyalurkannya sendiri. Apakah kini masih bisa mendudukkan media sebagai ‘anjing penjaga’ yang independen di tengah derasnya industrialisasi dalam tubuh media?

Masalah kekacauan posisi sebagai ‘anjing penjaga dan pengawas’ atau justru ‘pihak yang harus diawasi’  ini terlihat jelas dalam corporate social responsibility (CSR) terselubung di balik penyaluran bantuan melalui media massa. Praktik penyaluran bantuan ‘atas nama’ media ini marak sejak bencana tsunami Aceh tahun 2004. Penelitian oleh Muhammad Fuad dkk (2006) dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) menyebutkan, dalam satu bulan pertama setelah tsunami Aceh, gabungan Metro TV dan harian Media Indonesia menggaet dana bantuan dari masyarakat sebesar Rp 138,2 miliar. Pada akhir penayangan program ini, yaitu 29 Juli 2005, mereka berhasil mengumpulkan dana Rp 169 miliar.

Sampai tanggal 10 Agustus 2005, menurut penelitian PIRAC tersebut, sebanyak 35 perusahaan media, termasuk media cetak dan elektronik, mengumpulkan dana bantuan untuk tsunami Aceh lebih dari Rp 367 mliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang disiapkan pemerintah untuk menanggulangi bencana Aceh melalui anggaran belanja negara yang hanya Rp 8,3 miliar.

Dengan jeli media memanfaatkan jaringan distribusi dan kepercayaan publik untuk berlomba menjadi yang terbanyak dalam pengumpulan bantuan. Media menggunakan kredibilitasnya di benak khalayak untuk menjalankan peran sebagai distributor bantuan atau minimal ruang publikasi kepedulian sosial, iklan duka-cita atau data korban bantuan bencana. Masduki (2007) menulis bahwa, “Langkah ini keluar dari pakem pokok media dalam mengontrol penyaluran bantuan” (hal. 376).

Patut dipertanyakan, betulkah sumbangan itu sudah disampaikan secara utuh kepada korban yag berhak? Bagaimana kontrol masyarakat terhadap media sehingga jika ada penyelewengan dapat terdeteksi? Bagaimana masyarakat dapat menuntut pertanggungjawaban terbuka atas penggalangan dana yang dilakukan media?

Tak hanya mengawal bantuan yang disampaikan, pihak media harus mengawal bantuan yang disalurkan langsung oleh medianya sendiri. Dan pekerjaan terakhir ini sepertinya mustahil, karena seperti pepatah lama, gajah di pelupuk mata seringkali tak tampak.

Politisasi Bencana

Selain motif ekonomi, praktik cemar jurnalisme bencana di Indonesia juga bisa menjelaskan tentang politik media. Dapur media di Indonesia tidaklah suci, banyak banyak yang telah tercemar oleh bias kepentingan. Baik kepentingan pribadi (penulis atau pemilik media), maupun lembaga (baca: perusahaan).

Apalagi, hampir semua media di Indonesia dimiliki oleh perorangan, atau setidaknya oleh perusahaan, yang juga memiliki bisnis lain. Akibatnya, sejak semula, media tidak pernah bisa ‘steril’ dalam pemberitaan. Ada bias kepentingan di balik pemilihan tayangan maupun setiap kemunculan berita di media massa.[3]

Contoh paling nyata dari bias kepentingan pemilik media ini adalah pemberitaan soal bencana Lumpur Lapindo di media-media yang dimiliki oleh Grup Bakrie, yang juga menjadi memiliki PT Lapindo Brantas. Di media milik Bakrie, kebanyakan menampilkan tentang hal-hal ‘baik’ yang telah dilakukan perusahaan tersebut kepada korban semburan lumpur: tentang ganti rugi yang mulus dan menguntungkan korban, bahkan ada tayangan yang menampilkan korban yang menyatakan bahwa, “lumpur telah membawa kemakmuran,” dan “membuat kami bertambah kaya.”[4]

Dalam bentuk yang lain, peliputan yang tak berimbang antara letusan Gunung Merapi dan tsunami Mentawai pada tahun 2010, barangkali juga dikarenakan adanya bias kepentingan media. Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai memang sangat terlambat dan kurang memadai. Hingga hari kedua pasca-bencana gempa dan tsunami yang menerjang pada Senin (25/10/2010), gambaran tentang Mentawai masih samar. Masih sedikit foto dan video dari ladang bencana Mentawai. Sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal ‘drama’ sang juru kunci Merapi, Mbah Marijan atau tentang kematian wartawan dalam peliputan. [5] Jelas bahwa Mentawai dilupakan, karena pekerja media, juga mengikuti pola pemikiran sesat sebagaimana pemerintah saat itu yang memarjinalkan pulau-pulau kecil dan masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan.

Nyatanya, media membebek ketidakjelasan kriteria yang dibuat pemerintah tentang Merapi sebagai ‘bencana nasional’, sedangkan Mentawai adalah ‘bencana daerah’. Dalam hal ini, media boleh dituding telah diskrimintif dan Jawa-sentris dalam pemberitaan bencana yang datang beriringan itu, dengan korban yang nyaris setara. Atau apakah hal ini karena banyak wartawan dan bahkan pemilik media yang memiliki kedekatan emosional (dan sejarah) dengan Yogyakarta dibandingkan Mentawai?[6]

Tidak Mendidik

Dengan tren pemberitaan seperti disebut di atas, maka mengharapkan peran mendidik media dalam jurnalisme bencana mereka menjadi sangat sulit. Misalnya, walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana, mitigasi bencana belum menjadi tren dalam pemberitaan media. Media selalau saja sibuk mengejar efek dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang.

Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang berhadapan dengan bencana alam seolah-olah dilupakan. Dengan cepat, media juga melupakan korban bencana begitu ‘drama’-nya dianggap tak laris, seperti burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis rempah korban, lalu mencari kematian lainnya. Pemberitaan soal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana nyaris tak disuarakan. Padahal, dalam banyak kasus, misalnya pasca-bencana Aceh, proses rekonstruksi dan rehabilitasi telah memicu bencana baru karena adanya kesenjangan, korupsi, hingga kembalinya korban ke tapak bencana yang sama sehingga rentan terdampak oleh bencana berikutnya.  Proses rekonstruksi juga sangat menentukan untuk belajar agar ke depan bisa membangun komunitas yang lebih tahan dan kuat menghadapi bencana berikut, namun hal ini sangat jarang mendapat perhatian warga.[7]

Bahkan, ketika hak-hak dasar korban bencana (seperti barak, kesehatan, dan makanan) tak terpenuhi hingga tiga bulan setelah bencana, nyaris tak ada beritanya di media massa.[8] Tak ada media yang secara intens memantau bagaimana kondisi korban bencana di Mentawai dan juga Wasior, Papua beberapa tahun silam—yang juga jauh dari pusat kekuasaan dan kantor pusat media-media. Sesekali memang ada liputan media ke dua daerah itu, itu pun karena kebetulan ada lembaga negara ataupun LSM yang ‘membawa’ wartawan ke lokasi bencana itu. Nyaris tak ada media yang sengaja mengirim dan membiayai sendiri wartawannya untuk memantau kondisi di dua lokasi bencana itu.

Dalam kasus bencana kecelakaan pesawat terbang, ketika lebih fokus pada aspek dramatisasi, peliputan yang lebih memdalam tentang penyebab jatuhnya pesawat dan kemungkinan adanya ‘human error’ dan kesalahan sistemik akhirnya menjadi sangat minim diungkap. Padahal, jatuhnya pesawat yang berulangkali terjadi di Indonesia, namun, bencana ini seolah tidak menjadi pelajaran. Hingga saat ini, tak ada media di Indonesia, yang melakukan investigasi tentang persoalan kecelakaan pesawat terbang ini.

Media seringnya juga menganut prinsip ‘berita baru’. Begitu ada berita baru, berita yang lama biasanya akan tersingkir. Dengan tepat, Milan Kundera menggambarkan situasi ini dalam The Book of Laughter and Forgetting (1999), “Pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invansi Rusia ke Cekoslovakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi di Banglades, perang di Gurun Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja membuat orang lupa pada Sinai dan begitu seterusnya, hingga hampir-hampir setiap orang membiarkan segala sesuatunya dilupakan.”

Dan demikianlah yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun bencana, 2004 hingga 2014. Bencana Nabire yang segera dilupakan ketika gempa dan tsunami mengoyak Aceh dan Nias. Dan gempa Yogyakarta mengurangi perhatian orang terhadap bencana di Aceh. Merapi mengalihkan dari Mentawai. Demikian seterusnya, sampai bertahun kemudian bencana-bencana itu dilupakan, para korban yang belum semuanya ditangani kemudian ditinggalkan begitu saja, dan kita nyaris tak belajar dari setiap kejadian.

Seperti disebut sosiolog media John H Macmanus (1994), media telah mengekspos berbagai bentuk peristiwa becana alam seperti gempa dan banjir secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial semata. “Berita itu tak seksi lagi,” begitu mantra yang sering terdengar dari mulut wartawan atau editor untuk menolak berita yang sudah berulang-ulang kali dimuat. Walaupun masalah yang dihadapi masyarakat korban belum tuntas, seringkali, media tak lagi menampilkan berita tersebut dengan alasan tersebut. Secara konvensional, biasanya media menyaring berita yang layak dimuat atau tidak berdasarkan kriteria jumlah korban, jarak dari negara kita, kebaruan persitiwa, serta kemungkinan rating yang bisa diperoleh. Dalam konteks Indonesia, berita soal politik dan hukum, masih menjadi panglima dan seringkali mengalahkan isu-isu bencana.

Padahal, dalam jurnalisme bencana, yang paling penting sebenarnya adalah memberitakan dengan perspektif mitigasi bencana, bukan mengeksploitasi kepedihan saat  tragedi terjadi. Bagaimana media memberi perspektif terhadap masyarakat untuk bersiaga,  itulah yang harus menjadi dasar pijakan bagi jurnalisme bencana di negeri yang rentan bencana ini.

Menghukum Media

Kekacauan peliputan bencana pada penghujung 2014 ini ini, seperti mengulang kesalahan yang sama dalam berbagai peliputan bencana-bencana sebelumnya. Kekacauan yang menunjukkan adanya kontradiksi “…antara tugas yan suci dan pelaksanaan yang cemar, bukan hanya karena pelaksana yang tidak memadai, tapi juga karena niat buruk. Dalam bahasa legal, persoalannya bukan lagi sekedar “Disaster by accident, nor just by honest mistake, but also by malice.”

Jurnalisme bencana di Indonesia, nyatanya bisa menjadi bencana baru. Kekeliruan peliputan, karena bekal peliputan yang tidak memadai, baik disengaja atau tidak, harus dikontrol. Lalu, siapa yang bisa mengawal ‘anjing penjaga’ itu?

Kemunculan jurnalisme warga bisa menjadi jalan keluarnya.

Kekecewaan terhadap sempitnya ruang penyaluran dari media-media arus utama, semakin memperkuat munculnya media-media tandingan, salah satunya adalah media komunitas. Media tandingan ini, ada yang dibuat oleh komunitas korban maupun media yang dibuat oleh lembaga penyalur bantuan untuk menyukseskan program mereka.

Beberapa gambar terbaik saat tsunami, yang kemudian ditayangkan sejumlah televisi, ternyata juga diambil oleh warga, yang bukan wartawan terlatih. Dengan alat perekam video digital dan kamera digital, masyarakat kini telah bergerak jauh dalam jurnalisme partisipatif atau jurnalisme warga.

Tak hanya di Aceh, gerakan jurnalisme warga atau citizen journalism menyebar luas pasca-tsunami Aceh. Dan Gillmor, sebagaimana dikutip oleh Cooper (2007), menyebut bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004, sebagai titik balik kemunculan jurnalisme warga. Blog, daring, dan pesan singkat melalui telpon genggam mengalahkan sebaran berita di media massa dan lebih tepat waktu. Sebuah blog, www.waveofdestruction.org dikunjungi lebih dari 682.366 pengunjung selama empat hari.

Di Yogyakarta, gerakan media komunitas dipelopori oleh beberapa kelompok. Salah satunya dirintis oleh AJI Yogyakarta dengan membuat papan informasi yang ditempatkan di empat dusun, yaitu Semen (Bambanglipuro), Suren Wetan (Jetis), Pranti, dan Jonggaran (Pundong). Seminggu sekali, tim Papan Informasi AJI Yogyakarta memberikan informasi yang dinilai berguna buat masyarakat, seperti bagaimana hidup sehat di tenda, memasang sambungan listrik secara aman, cara membuat rumah tanggap gempa, cara membuat proposal, informasi NGO yang memberikan bantuan, dan informasi lainnya (Bambang, 2007, hal. 405).

Seiring dengan dunia internet yang semakin berkembang, peran media komunitas sebagai jembatan penghubung antar korban akan semakin strategis ke depannya. Selain itu, radio komunitas  bisa menjadi medium yang efektif di tengah bencana.

George D Haddow dan Kim S Haddow, pengarang buku Communications in A Changing Media World (2009) menyebutkan bahwa di masa lalu, biasanya kita baru mengetahui sebuah bencana lama setelah kejadian itu berlalu. Namun, sekarang tidak lagi. Teknologi baru, laptop, telepon genggam, sistem pengirim pesan, kamera digital, dan internet telah mengubah gelombang pengumpulan dan pendistribusian berita. Teknologi-teknologi ini juga merubah jalannya informasi, dari yang dulunya terpusat, dengan model atas bawah melalui pemerintah maupun pekerja media profesional, berubah menjadi lebih dinamis. Kini, semua orang bisa mengirim berita kepada siapa pun, kapan pun juga (hal. 41).

Jika di media konvensional, penonton atau pembaca hanya bersifat pasif, dalam media komunitas, mereka menjadi pihak yang aktif dalam mencipta dan menyebarkan informasi. “Jurnalisme pasrtisipatif menghapus batas antara pihak yang terkena dampak dengan yang meliput berita,” kata Tim Poster, penulis blog First Draft, sebagaimana disebut dalam buku Geroge D Haddow dan Kim S Haddow. Haddows pun menyatakan, “Dalam dunia digital dan komunikasi dua arah, kita semua adalah reporter” (hal. 37).

Selain menjadi penyedia informasi tandingan, jurnalisme warga ini bisa juga menjadi semacam pengawal dari jurnalisme mainstream yang kadang keliru—baik yang disengaja atau karena alpa dan kebodohan. Akan tetapi, jurnalisme warga juga banyak memiliki kelemahan yang juga bisa terjebak dalam kekacauan yang sama. Salah satunya, adalah sulitnya menyaring informasi hoax dan menyesatkan karena lemahnya verifikasi dan editing. Selain juga masih perlunya pendampingan terhadap warga ‘pelapor’ agar bisa menulis di ‘media mereka’ agar bisa memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang informatif, berimbang, dan mendidik.

[1] Di Indonesia memang nyaris tidak ada pelatihan maupun pendidikan tentang jurnalisme peka bencana yang diberikan kepada wartawan peliput bencana. Banyak wartawan yang tidak faham dengan perspektif jurnalisme empati, sehingga kesalahan seperti yang dilakukan reporter tersebut bahkan seringkali tidak disadari sebagai suatu kesalahan. Banyak pekerja media yang melihat korban sebagai obyek berita yang ‘boleh’ dieksploitasi. Akibatnya banyak korban bencana yang menjadi korban media.

[2] Narasumber adalah produser eksekutif peliputan daerah dan luar negeri salah satu stasiun televisi swasta. Wawawancara dilakukan di Jakarta, 30 April 2013 untuk penelitian “Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana: Studi Perbandingan Peliputan Tsunami di Jepang dan Indonesia” (2014)

[3] Hampir semua media di Indonesia dimiliki oleh perusahaan yang memiliki grup usaha di bidang lain. Bahkan ada media yang pemiliknya juga pengurus partai atau organisasi massa, juga beragam usaha lain yang sering melanggar aturan. Bisa dipastikan, media tersebut tidak akan bisa mengritisi perusahaan atau pemilik perusahaan mereka yang tengah berkasus. Bahkan, media tertentu bisa “dipakai” untuk menyerang saingan bisnis pemilik media.

[4] Tayangan “Negeri Impian”, TV One—yang sahamnya dimiliki keluarga Bakrie—pada 27 September 2009. Sepanjajang tayangan ini saya tidak menemukan suara dari korban yang kecewa atau belum mendapat ganti rugi, atau tetap merasa dirugikan oleh bencana itu. Semuanya berisi komentar positif. Jelas ini melanggar prinsip keberimbangan sebuah tayangan di media massa.

[5] Selamat jalan kepada alm. Yuniawan Nugroho atau Wawan, wartawan vivanews.com, yang tewas dalam liputan di Merapi. Kematian Wawan menambah daftar panjang wartawan Indonesia yang tewas saat bencana, baik bencana alam maupun bencana perang. Bahwa, medan bencana bisa menjadi bencana bagi wartawan juga.

[6] Bias ini, memang tak hanya terjadi oleh media-media di Indonesia. Diskriminasi juga ditampakkan pemerintah dan media di Amerika Serikat terkait bencana Katrina seperti dipaparkan oleh Wailoo, Keith, dkk. dalam Katrina’s imprint: race and vulnerability in America. 2010. Rutgers: The State University of New Jersey.

[7] Naomi Klein (2009) menyebutkan bahwa fase pasca-bencana bisa menjadi titik rawan bagi komunitas lokal. Dia menyebutkan tentang masifnya komoditifiasi bencana oleh pelaku kapitalisme global yang ekspansif, kepentingan bisnis yang disisipkan lewat bantaun, selain juga pengambilalihan aset oleh pemodal luar dengan harga yang murah.

[8] Kompas, Pengungsi Mentawai Masih Terabaikan, Jumat, 11 Febuari 2011

Daftar Pustaka:

Ahmad Arif. 2010. Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

Bambang MBK. 2007. Setahun Bergelut dengan Isu Bencana Bumi dalam buku kompilasi Kisah Kisruh di Tanah Gempa. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas: Yogyakarta.

George D Haddow dan Kim S Haddow. 2009. Communications in a Changing Media World, Butterworth-Heinemann.

Milan Kundera. 1999. The Book of Laughter and Forgetting. Herper Perennial: New York.

Macmanus, John H. 1994. Market Driven Journalism, Sage Publications: London.

Masduki. “Wajah Ganda Media Massa dalam Advokasi Bencana Alam”, dalam A.B. Wiyanta. Kisah Kisruh di Tanah Gempa. 2007. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.

Muhammad Fuad dkk. 2006. Sumbangan Tsunami, Tsunami Sumbangan, Piramedia.

Naomi Klein. 2009. The Shock Doctrine. Metropolitan Book: New York.

Daring:

Cooper, Glenda (2007). “Burma’s Bloggers Show Power of Citizen Journalism in a Crises. Reuters Alert Net”, http://www.alertnet.org/db/blogs/30708/2007/09/3-134022-1.htm (tidak lagi aktif), atau http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.india.zestmedia/3925.

Koran:

Kompas, Pengungsi Mentawai Masih Terabaikan, Jumat, 11 Febuari 2011.

*) Dicopy dari Ahmad Arif di http://remotivi.or.id/pendapat/jurnalisme-bencana-tugas-suci-praktik-cemar

Ada dua tesis yang biasa kita pakai untuk mengkritik televisi kita dewasa ini. (1) Televisi memberikan gambaran yang keliru tentang realitas dan kita melihat gambaran tersebut sebagai yang lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri. Hal ini ditumpu oleh (2) dunia pertelevisian, sebagai dunia industrial, bergerak sepenuhnya untuk memproduksi laba, dan dengan demikian akan terus terombang-ambing dalam mekanisme pasar.

di-balik-frekuensi-02

Untuk memudahkan, kita sebut tesis pertama sebagai kritik ideologi, dan tesis kedua sebagai kritik ekonomi-politik. Kedua tesis ini punya banyak turunan. Dalam kritik ideologi kita bisa melihat televisi sebagai kelanjutan rasa minder bangsa bekas-jajahan di hadapan kebudayaan penjajah, sebagai perpanjangan ideologi patriarkal untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, atau sebagai media penghibur serta reproduksi tenaga buruh agar tetap bisa bahagia dan melupakan penindasan kapitalisme, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam kritik ekonomi-politik, kita bisa melihatnya sebagai penghisapan kapital atas tenaga kerja, sebagai perampokan ruang publik berupa frekuensi yang digunakan sebagai medium penyiaran televisi, lemahnya negara dalam memberikan perlindungan publik serta mengatur industri, atau ruang bebas pakai bagi perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produk-produknya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk memformulasikan cara baca baru atas televisi. Model basis-superstruktur yang tercermin dalam analisis kedua tesis tersebut, menurut hemat saya, adalah alat yang paling produktif untuk menggambarkan dinamika industri pertelevisian secara makro. Tulisan ini pun tidak berniat untuk membetulkan pembacaan yang “keliru” atas televisi. Roy Thaniago dan Fajri Siregar pernah melakukan kritik atas sesat logika umum yang direpresentasikan oleh Pandji dengan ciamik (baca “Menguji Logika Pandji” dan “Bias Kelas dan Literasi Media”). Tulisan ini bersumber pada permasalahan teoretis dan praksis: apabila kita punya seperangkat pengetahuan tentang suatu realitas, kenapa kita tidak mampu mengubah realitas tersebut?

Pertanyaan ini bisa dijawab dari aras strategi-taktik, yakni dengan melakukan otokritik atas metode gerakan dalam mengorganisasi perlawanan terhadap hegemoni industri, atau dari aras paradigmatik, yakni dengan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar yang melandasi gerakan itu sendiri. Tulisan ini akan masuk lewat aras paradigmatik dengan mengembangkan kembali kedua tesis kritik atas televisi.

Publik Sebagai Warga Negara

“Frekuensi adalah milik publik”, demikian bunyi maxim yang melandasi gerakan melawan hegemoni industri televisi. Maxim ini bertumpu pada dua postulat. Pertama, frekuensi yang dipakai untuk menyiarkan tayangan televisi adalah gelombang elektromagnetik yang beredar bebas di udara. Kedua, publik adalah entitas politik pertama yang darinyalah pengaturan masyarakat dimungkinkan dan ditujukan. Pernyataan “frekuensi adalah milik publik” berarti afirmasi terhadap publik sebagai subjek politik yang darinya pengaturan frekuensi dimungkinkan dan untuk kepentingannya pengaturan tersebut ditujukan.

Pemahaman publik sebagai subjek politik ini adalah usaha untuk mengimbangi cara pandang televisi yang mereduksi penonton sebagai konsumen. Konsumen bicara soal selera, apakah tayangan tertentu sesuai dengan preferensi pribadi yang berasal dari posisi individu dalam lingkup kultural, sosial, dan ekonomi. Konsekuensi praksis paling radikal dari posisi ini serupa dengan seorang konsumen yang berada di swalayan: apabila ia tidak menyukai suatu produk, ia tidak akan membelinya. Apabila penonton tidak menyukai tayangan atau stasiun televisi tertentu, ia tidak menontonnya—atau, paling jauh, membuat petisi online untuk menghentikan tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan selera individu-individu tersebut tanpa pernah membuat suatu gerakan riil untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam dunia penyiaran.

Secara epistemologis, posisi ini bermasalah karena selera konsumen adalah relatif dan tidak objektif, dan, lantaran metodenya yang fenomenologis—yakni hanya bertumpu pada penampakan tayangan yang berkorespondensi langsung dengan selera—ia gagal melihat struktur yang bekerja di balik dan melandasi tayangan itu sendiri. Dengan demikian, pengetahuan yang mampu diproduksi oleh posisi ini hanyalah nyanyian “bintang kecil di langit yang biru”, tanpa tahu bahwa bintang itu besarnya berkali-kali lipat dari bumi, dan warna biru langit hanyalah permainan cahaya—langit tidak punya warna.

Dengan menempatkan publik sebagai subjek politik, kita tidak lagi bicara mengenai individu-individu yang digerakkan oleh selera, melainkan sebagai subjek kolektif yang memiliki hak-hak sebagai warga negara untuk mendapatkan tayangan yang sehat, mendidik, dan relevan bagi kehidupannya. Menempatkan publik sebagai subjek politik mengandaikan posisi epistemologis yang jelas, yakni afirmasi terhadap dinamika ekonomi-politik sebagai mekanisme yang melandasi dunia pertelevisian kita. Dari posisi epistemologis ini kita mendapatkan pengetahuan tentang struktur umum tentang relasi-relasi sosial yang memungkinkan dan mempengaruhi tayangan televisi yang kita saksikan sehari-hari. Konsekuensi praksisnya, kita jadi punya strategi umum untuk melakukan perubahan. Hanya dengan memiliki pengetahuan objektif tentang kondisi material suatu keadaanlah kita mampu mengubah keadaan tersebut.

Namun demikian, maxim ini bukanlah senjata maha kuasa. Setidaknya terdapat tiga problem mendasar yang menjadi celah kosong pengetahuan kita. Pertama, kita tidak memiliki suatu tujuan konkret yang dengannya segala pencapaian gerakan bisa diukur. Kedua, publik sebagai subjek bukanlah entitas yang tunggal. Ketiga, publik adalah subjek yang menyejarah; ia dibentuk oleh berbagai macam faktor—dan televisi salah satunya.

Mari kita bahas problem-problem tersebut satu persatu.

1) Kalimat “frekuensi adalah milik publik” biasanya diikuti dengan simpulan, “oleh karenanya, publik berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang, tayangan mendidik, jernih tanpa bias, ramah gender, serta relevan bagi kehidupan bermasyarakat.” Formulasi ini telah menjadi tonggak normatif yang siap ditelan oleh setiap mahasiswa yang sedang belajar menjadi aktivis media. Namun, sebagaimana patokan normatif pada umumnya, kita kerap kali tidak tahu persis dengan apa yang kita katakan. Seperti apakah tayangan yang mendidik? Pendidikan macam apakah yang mesti disediakan oleh televisi? Seperti apakah tayangan yang tidak bias gender? Apa saja isu yang relevan bagi publik?

Barangkali satu-satunya pertanyaan yang dengan  rigor terus dijawab oleh pemerhati media adalah pertanyaan mengenai dunia jurnalisme. Kita punya Kode Etik Jurnalisme sebagai pedoman praktik jurnalistik, Dewan Pers sebagai regulator, serta Aliansi Jurnalis Independen sebagai organisasi profesi jurnalis non-pemerintah. Dengan amunisi yang terhitung lumayan itu pun, jurnalisme televisi kita masih banyak bopengnya.

Hanya dengan menjawab pertanyaan di ataslah kita punya arah serta patokan dalam bergerak. Tulisan ini tidak berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, melainkan menunjukkan pintu masuk untuk menjawabnya.

2) Siapa yang kita maksud sebagai “publik” ketika kita bilang “frekuensi adalah milik publik”?  Pertanyaan ini mesti kita jawab terlebih dahulu apabila kita ingin masuk dalam problem yang tertera pada poin 1).  Apabila kita meyakini bahwa setiap aspek dalam penyiaran harus mengabdi pada publik, maka kita mesti mendefinisikan aspek-aspek normatif tersebut di atas dengan menggunakan perspektif publik. Perspektif publik ini, pada gilirannya, hanya bisa kita gunakan apabila kita mengenal siapa itu publik.

Publik bukan suatu entitas yang pejal dan monolitik. Ia adalah entitas kolektif spesifik yang diikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas. Rambu-rambu lalu lintas adalah rambu publik. Ia bukan rambu-rambu untuk semua orang; ia ada hanya untuk memberi arahan bagi publik pengguna jalan. Rambu-rambu lalu lintas tidak berlaku untuk orang yang sedang bermain sepak bola atau makan di warung Padang. Begitupun toilet umum. Ia adalah solusi bagi publik yang ingin buang air besar/kecil, namun bukan untuk orang-orang yang kehausan atau merana ditinggal pacar.

Problem bagi pengaturan publik atas televisi adalah ini: hampir seluruh rakyat Indonesia adalah publik televisi, dan mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda dari televisi. Kita bisa menemukan televisi di dalam hampir setiap bangunan yang berdiri di Indonesia—bahkan di rumah orang-orang yang mengaku tidak menonton televisi. Pada pihak lain, terdapat sepuluh televisi swasta yang bersiaran secara nasional, dan semuanya membawa suara yang spesifik: Pulau Jawa, Muslim, laki-laki, dan apolitis (untuk sifat terakhir ini akan terjelaskan pada poin berikutnya). Banyak kepentingan publik yang kurang atau bahkan tidak mendapat tempat sama sekali dalam televisi.

Sementara industri televisi memiliki Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang menjadi benteng konsolidasi industri dalam menentukan isi tayangan maupun daya tawar terhadap negara dan publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dijagokan sebagai benteng pertahanan publik masih harus menempuh ribuan tahun cahaya untuk mampu membatasi gerak industri—apalagi menjadi representasi otoritas publik dalam menentukan konten tayangan.

Lebih lanjut lagi, kita juga perlu memberi batasan-batasan yang jelas terhadap publik itu sendiri. Surya Paloh dalam sebuah wawancara di Aiman dan… (Kompas TV, 24 Januari 2014) menyatakan bahwa ia adalah “bagian dari publik… publik ya kita. Ruang publik ya kita bersama. … saya minta, boleh nggak saya kampanye di situ (Metro TV). Saya mau menjalankan pikiran, konsepsi, gagasan, perubahan restorasi Indonesia yang dibawa partai NasDem ini.” Atau Hizbut Tahrir Indonesia yang membeli spot TVRI untuk menayangkan muktamar khilafah HTI yang dengan terang menolak konstitusi negara dan demokrasi—namun, ironisnya, menggunakan argumen kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Undang-undang.

Di sinilah paradoks dalam menempatkan publik sebagai subjek politik televisi. Baik HTI maupun Surya Paloh dengan NasDemnya adalah gerakan politik yang diorganisasi oleh publik, tapi kita melihatnya sebagai sesuatu yang bermasalah. Tentu kita bisa bilang bahwa tindakan yang dilakukan oleh Surya Paloh (begitu juga Aburizal Bakrie-Golkar dan Harry Tanoe-Hanura) melanggar peraturan Komisi Pemilihan Umum mengenai kampanye partai politik. Kita juga bisa bilang bahwa televisi adalah ruang publik yang bebas kepentingan politik.

Now, here’s the twist: kita tidak akan berteriak kalau yang muncul adalah Suara Ibu Peduli (SIP), aksi Kamisan, atau Migrant Care. Kemunculan kelompok pertama kita definisikan sebagai pemanfaatan frekuensi publik untuk kepentingan politik, sementara kelompok kedua kerap dilabeli sebagai gerakan masyarakat yang tergugah “moral”nya. Kelompok pertama adalah politik praktis yang kotor dan kelompok kedua adalah gerakan rakyat yang berlandaskan hati nurani. Sebagian dari kita lebih memilih rakyat yang memiliki hati nurani ketimbang Hati Nurani Rakyat—dan mungkin pilihan itu adalah pilihan yang baik.

Namun demikian, ada kekeliruan fatal dalam cara pandang ini dan media—televisi juga termasuk di dalamnya—punya andil besar di dalamnya.

3) Dengan semakin dekatnya pemilihan umum bulan April 2014 mendatang, berbagai kalangan masyarakat cemas. Apa pasal? Grafik partisipasi rakyat dalam Pemilu turun secara teratur dimulai dari tahun 1999 (92,74% dari pemilih yang terdaftar), 2004 (84,07%), dan 2009 (71%). Dalam survey yang dilakukan LIPI atas 1.799 responden dari 31 provinsi pada akhir November 2013 kemarin, terdapat 60% peserta yang menyatakan kurang atau tidak tertarik sama sekali terhadap politik, dan hanya 37% yang mengaku tertarik.[1] Sementara itu, terdapat 40,7 juta pemilih muda atau 21,8% dari total 186,6 juta pemilih yang akan terlibat dalam Pemilu tahun ini,[2] dan 20,8 juta di antaranya adalah pemilih pemula.[3]

Dengan segera, kita bisa menarik beberapa kesimpulan dari rendahnya tingkat partisipasi publik terhadap Pemilu ini: rakyat sudah tidak peduli terhadap politik, pemahaman rakyat tentang politik rendah, dan Indonesia sedang mengalami krisis politik yang mendasar. Kita pun punya sederet obat mujarab bagi problem ini: kampanye, pendidikan kewarganegaraan, Undang-undang yang melarang golput, kampanye, dan kampanye lebih banyak lagi. Rakyat sebenarnya membutuhkan politik, tapi rakyat tidak tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan, oleh karena itu rakyat harus diberitahu apa yang sebenarnya ia butuhkan.

Kita lantas menunjuk Orde Baru sebagai biang keladi situasi ini: sikap apolitis rakyat adalah warisan Orde Baru yang merepresi aspirasi politik rakyat untuk melanggengkan hegemoninya selama 32 tahun. Rakyat menilai politik sebagai sesuatu yang “kotor”, “penuh dengan intrik”, dan “pencitraan semata”.

Biasanya kita akan menunjuk sisa-sisa Orde Baru yang masih bercokol dalam instansi-instansi pemerintahan kita—dengan jumlah yang tidak sedikit—sebagai benalu yang merongrong laju reformasi. Dalam survei-survei yang digalang berbagai lembaga, hanya satu partai yang bukan hasil diaspora Golongan Karya (Golkar): Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Empat partai sisanya adalah kendaraan politik Golkar atau kader “alumnus” Golkar; yakni Gerakan Indonesia Raya (mengusung Prabowo Subiyanto), Nasional Demokrat (dengan Surya Paloh), dan Hati Nurani Rakyat (dengan Wiranto). Golkar sendiri masuk dalam lima besar itu dengan mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai presiden. Tiga partai di antaranya didukung penuh oleh perusahaan penyiaran televisi: Nasdem oleh Metro TV (milik Surya Paloh), Hanura oleh MNC Grup (milik Hary Tanoesudibyo), dan Golkar oleh TV One (milik Aburizal Bakrie). Dengan wajah politik semacam ini, bukankah wajar apabila kita berpikir kalau reformasi tak ubahnya Orde Baru yang beralih rupa dengan bulu domba—sementara firasat kita berteriak: pengusaha dan tentara itu serigala?

Problem mendasar dari pemahaman politik seperti ini bukan bahwa banyak elit politik kita yang brengsek—meskipun mesti diakui, mereka memang brengsek dan itu masalah besar—melainkan bahwa kita memaknai politik sebagai mainan elit; kita melihat politik sebagai sesuatu yang menubuh dalam institusi-institusi formal negara, dalam partai-partai, dalam perwakilan-perwakilan. Politik yang disuguhkan televisi serta media massa pada umumnya adalah skandal pejabat dan artis yang terjerat kasus korupsi, masalah-masalah internal dalam partai berkuasa, presiden yang mutung karena dibully oleh stasiun televisi milik lawan politiknya, tersangka penjahat kemanusiaan dengan mudah lari dari tanggung jawab karena punya jiwa patriotik dan semangat nasionalisme, pengusaha brengsek yang menghancurkan seluruh sektor ekonomi di beberapa desa Sidoarjo dengan berak lumpur lalu bilang ia mau membangkitkan usaha kecil. Sementara Orde Baru mengekang media untuk tidak bicara politik, media reformasi penuh dengan intrik politik. Penampakannya tentu sama sekali berbeda, namun asumsinya sama: rakyat atau massa atau publik tidak turut andil di dalamnya.

Sementara itu, gerakan publik selalu ditimbang sebagai aksi ricuh, amuk massa, unjuk rasa yang menyebabkan kemacetan, atau bentrok aparat dengan demonstran. Kita selalu digiring untuk melihat gerakan publik sebagai sesuatu yang penuh kekerasan, kasar, dan banal. Seorang nasionalis karbitan akan melihatnya sebagai “memecah belah kesatuan bangsa”, pengikut setia Mario Teguh akan dengan bijak menghakiminya sebagai “orang-orang tidak tahu bersyukur”, atau “orang miskin yang malas membangun usaha sendiri”, #kelasmenengahngehek akan mengeluh karena “demo kok di hari kerja, bikin macet saja—kenapa nggak pas hari libur!?” atau yang paling teruk, seorang skeptis-nihilis yang berkata, “alah, ngapain demo. Memang dunia dari dulu kayak begini kok; nggak ada alternatif”. Pejabat negara, anggota DPR, aparat kepolisian, presiden, perwakilan pengusaha, atau penjaga warung kopi pun sering kepergok memberi komentar demikian: “isu (silahkan isi dengan isu yang menyangkut kepentingan publik di sini) jangan dipolitisir!” Masalahnya, segala macam isu yang menyangkut kepentingan publik adalah politis; ia menyangkut pengaturan masyarakat dan politik, per definisi, adalah pengaturan masyarakat.

Publik, dengan demikian, ditempatkan dalam politik dengan kerangka perwakilan; DPR adalah sebuah dewan yang mewakili kepentingan politik publik, Kemenkominfo mewakili kepentingan publik dalam menggunakan medium komunikasi dan memperoleh informasi, KPI mewakili publik dalam pengawasan konten media, dan seterusnya. Peran publik hanya memilih perwakilan, dan hanya melakukannya sekali dalam jangka waktu 5 tahun sekali; baik itu presiden, anggota legislatif, kepala tingkat provinsi, kabupaten, ataupun RT/RW. Tindakan politis publik yang dengan penuh difasilitasi negara adalah penyerahan hak politis publik pada perwakilannya.

Tentu akan sangat sulit untuk menerapkan sebuah pengaturan masyarakat dalam skala besar dengan tanpa melibatkan skema perwakilan sama sekali. Sistem perwakilan, hingga titik tertentu, masih diperlukan. Problem dari sistem perwakilan kita hari ini terletak pada anonimitasnya. Telah kita diskusikan di atas bahwa publik selalu bisa dinamai. Sistem perwakilan kita melihat publik sebagai suatu kerumunan yang carut marut dan ada di sana begitu saja. Kita selalu dengar: “semua orang punya andil, satu orang satu suara”. Andil dalam hal apa, dan bagaimana bisa satu suara itu mengakomodasi seluruh kepentingannya dalam berbagai aspek kehidupan politik?

Sebagai apakah publik ketika publik memberikan suara pada seorang wakil? Sebagai rakyat? Sebagai warganegara? Sistem perwakilan mereduksi seluruh kepentingan publik dalam istilah “suara rakyat”, dan publik menggunakannya untuk memilih satu wakil yang akan mewakili semua kepentingannya; dari pengaturan jalan raya, pengaturan hubungan industrial, pengaturan penyiaran, dan seterusnya. Publik memilih wakil di DPR untuk mewakili publik dalam memilih wakil publik yang mengurusi kepentingan publik yang lebih riil dalam kementrian dan komisi negara. Dengan demikian, apakah benar publik diwakili? Kita bisa membalikkan tuduhan yang telah disebut di muka: “rakyat membutuhkan politik, tapi bukan politik macam ini.

Televisi kita adalah hasil bentukan dari sistem politik perwakilan ini sekaligus menjadi anjing penjaga yang memustahilkan publik untuk keluar dari kerangka pikir tersebut. Dengan demikian, konsekuensi logis dari menempatkan publik sebagai subjek politik dalam hubungannya dengan dunia pertelevisian adalah memberikan publik kemampuan untuk mendefinisikan televisi, dan bukan sebaliknya. Tentu kita masih butuh sistem perwakilan; industri televisi tetap mewakili publik dalam memproduksi tayangan, memilih jenis tayangan, atau mengurus pengorganisasian kerja. Namun seluruh paradigma yang melatari seluruh proses produksi tayangan tersebut ditujukan untuk publik. Skema seperti ini tentu akan membunuh paradigma perwakilan yang selama ini dipakai televisi. Publik adalah kehadiran (presentation) yang diwakilkan (representation), dan industri televisi memiliki kekuasaan karena ada kehadiran yang membuatnya bisa mewakili sesuatu—dan kekuasaan itu semu, ia bergantung pada publik yang memberinya kekuasaan pada mulanya.

Apabila kekuasaan adalah senjata, maka tugas kita adalah memberikan senapan kepada industri televisi, untuk menembaki kepala mereka sendiri.

[1] Baca: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/info-kpu/13/12/01/mx4ftj-merangsang-partisipasi-politik-masyarakat-adalah-tugas-parpol

[2] Baca: http://www.antara.net.id/index.php/2014/01/02/pemilih-pemula-pemilu-2014-potensi-besar-sosialisasi-program-yang-belum-merata/id/

[3] Baca: http://www.celupkelingking.org/2014/208-juta-anak-muda-bakal-jadi-pemilih-mula/

 

*) Dicopy dari tulisan Yovantra Arief di http://remotivi.or.id/pendapat/kontribusi-untuk-kritik-ideologi-dan-ekonomi-politik-televisi-bagian-i

“Keep you doped with religion and sex and TV
And you think you’re so clever and classless and free
But you’re still peasants as far as I can see
A working class hero is something to be”

(Working Class Hero, John Lennon)

Tiga tahun belakangan ini, setiap kali terjadi aksi buruh besar-besaran yang berskala nasional, saya akan membuka Google lalu mengetik “sampah demo buruh” pada kolom pencarian. Hasilnya tak pernah mengecewakan. Laman hasil pencarian Google biasanya penuh oleh berita tentang sampah yang ditinggalkan demonstran buruh. Para wartawan dari depan Gedung Sate hingga depan Istana Negara sibuk mengamati tumpukan sampah,[1] tuntutan para buruh pun seakan tenggelam dalam tumpukan sampah-sampah itu.

Berita tentang menumpuknya sampah yang ditinggalkan para buruh ini kemudian memicu sikap antipati terhadap aksi buruh. “Kelakuan begini mau minta gaji tinggi..” begitu bunyi salah satu komentar pada berita tentang sampah yang ditinggalkan para buruh di Gelora Bung Karno.[2] Selain berita tentang sampah, tema rutin lain yang selalu diberitakan selepas aksi buruh adalah kemacetan lalu lintas dan kerugian perusahaan akibat aksi. Aksi buruh akhirnya terkesan merugikan semua kalangan kecuali para buruh peserta aksi itu sendiri.

Kini rutinitas berita yang memancing antipati terhadap buruh tampaknya tengah memasuki babak baru. Detik.com mengunggah berita bernada sinis dengan judul “Upah Rp 2,4 Juta /Bulan, Buruh: Nggak Bisa Liburan Ke Bali”[3]. Berita ini mengabarkan tentang tuntutan kenaikan upah yang dinyatakan Sekeretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dalam konferensi pers. Nada sinis berita ini dapat dilihat dari pemilihan judul yang menyederhanakan tujuan tuntutan para buruh, seolah-olah para buruh meminta upahnya dinaikkan hanya agar bisa berwisata ke Bali.

Sebelumnya, berita-berita bernada sinis terhadap buruh biasanya muncul setelah aksi-aksi buruh yang besar-besaran dengan skala nasional. Berita tentang sampah sisa aksi buruh biasanya ramai-ramai terbit pada 2 Mei, sehari setelah aksi Hari Buruh. Berita tentang buruh bermotor mentereng juga diunggah setelah buruh beberapa hari melancarkan mogok nasional pada akhir Oktober 2013 lalu.[4] Sedang berita tentang buruh yang tak bisa liburan ke Bali muncul begitu saja ketika para buruh tak melancarkan aksi besar-besaran. Seperti berita-berita sinis sebelumnya, berita ini pun disambut komentar pembaca yang antipati terhadap tuntutan buruh. Komentar-komentar bernada antipati pun semakin bersemangat dengan, misalnya, menyarankan perusahaan untuk memecat buruh yang banyak menuntut.

Berita bernada sinis terhadap buruh telah menjadi rutinitas media dan kini rutinitas itu bukan hanya terjadi selepas aksi buruh. Ini menandakan awak media semakin terbiasa menulis sikap politik buruh secara sinis. Rutinitas ini membuat upaya para buruh dalam memperjuangkan nasibnya semakin berat. Dalam beberapa kasus, para buruh pun mulai “membalas” berita-berita sinis di media. Ketika mogok nasional pada Oktober-November 2013 lalu, Forum Buruh DKI bahkan memboikot TV One dan Warta Kota lantaran pemberitaan dua media tersebut dianggap tak berimbang. Pemboikotan dilakukan dengan menyisir dan mengusir wartawan dua media terkait dari lokasi aksi.[5]

Ketidakakuran wartawan dengan buruh ini tentu tak diinginkan oleh gerakan buruh. Dalam berbagai isu, buruh masih mengharapkan atau bahkan bergantung pada media massa untuk menyebarluaskan aksi dan pernyataan mereka. Salah seorang aktivis buruh Purwakarta pernah mengeluhkan sulitnya mengundang wartawan untuk meliput isu-isu buruh. Saat itu aktivis tersebut sedang mengurus kasus represi polisi terhadap mogok buruh Indofood pada Juli lalu.[6] Ia dan kawan-kawannya mengundang wartawan untuk konferensi pers, namun tak satu pun datang. “Kalau pun datang, belum tentu berita yang mereka tulis berimbang,” ujarnya ketus.  Barangkali ia juga sudah terbiasa melihat pemberitaan isu perburuhan yang cenderung memojokkan buruh.

Lalu apa yang membuat berbagai media massa begitu getol menerbitkan berita sinis sehingga masyarakat menjadi antipati terhadap sikap politik buruh?

Menurut Shoemaker dan Reese, terdapat beberapa level pengaruh yang menentukan isi berita suatu media. Secara berturut tingkatan tersebut dibagi sebagai berikut: pengaruh individu pekerja media, pengaruh rutinitas media, pengaruh organisasi media, pengaruh eksternal media, dan pengaruh ideologi media.[7]

Pengaruh individu pekerja media dapat ditelusuri dari latar belakang dan karakteristik individu wartawan sebagai pekerja suatu media.  Dimensi-dimensi yang turut membentuk latar belakang seorang wartawan antara lain adalah jenis kelamin, etnis, orientasi seksual, pendidikan, dan apakah ia berasal dari kaum kebanyakan atau kaum elit. Kecuali dimensi-dimensi bawaan lahir seperti jenis kelamin, dimensi-dimensi yang membentuk latar belakang seseorang pun sebenarnya terbentuk oleh keadaan sosial yang melingkupinya. Wartawan dilingkupi oleh keadaan sosial dengan corak produksi kapitalis. Corak produksi inilah yang membagi-bagi kelas pekerja dalam kategori-kategori hierarkis: terampil, semi-terampil, dan tak terampil. Wartawan yang meliput di kantor-kantor pemerintah dengan ijazah sarjana dianggap sebagai pekerja terampil. Sedangkan para buruh di pabrik-pabrik perakitan otomotif atau garmen yang tak pernah mengenyam bangku kuliah dianggap semi-terampil atau tak terampil.

Seorang wartawan yang juga bagian dari kelas pekerja kemudian lebih menghayati posisinya sebagai pekerja berketerampilan atau kelas menengah. Ia merasa menjadi bagian dari kelas di dalam kelas. Meskipun hidup dari menukar tenaganya dengan upah seperti buruh pabrik di Bekasi atau Tangerang, banyak wartawan merasa tak berkepentingan dengan kenaikan tingkat upah. Padahal upah wartawan Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia Tenggara.[8] Rata-rata wartawan Jakarta diupah Rp. 3-4 juta per bulan. Namun masih ada juga wartawan yang diupah di bawah upah minimum provinsi. Hal ini karena pengeluaran perusahaan-perusahaan media di Indonesia untuk gaji wartawan masih tergolong rendah dibanding di negara-negara lain. Rasio pengeluaran upah wartawan di perusahaan media sebesar Jawa Pos pun hanya 8 persen dari seluruh pendapatan perusahaan, sementara sekelas Tempo Media Group pun hanya 12,39 persen. Bandingkan dengan Star Publication di Malaysia yang mencapai 18,3 persen, Singapore Press Holding di Singapura yang mencapai 29,3 persen, dan Fairfax Media di Australia yang mencapai 37,12 persen.[9]

Tingkat upah yang rendah menunjukkan bahwa kebanggaan wartawan-wartawan Indonesia pada statusnya sebagai pekerja terampil hanyalah kebanggaan semu. Rutinnya berita-berita yang sinis terhadap sikap politik buruh sebenanrya mencermikan para wartawan yang belum selesai berurusan dengan ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semunya. Ilusi hierarki keterampilan dan kebanggaan semu itu membuat para wartawan tak rela upahnya yang pas-pasan tersaingi oleh upah para buruh yang kastanya lebih rendah dalam hierarki keterampilan. Bukan hanya teratomisasi dari kelas pekerja, para wartawan penulis berita sinis akhirnya harus melawan perjuangan kelasnya sendiri.

Tragisnya, seorang wartawan mungkin bekerja untuk majikan yang sama dengan para buruh yang aksinya ia tulis dengan nada sinis. Konglomerasi memungkinkan hal semacam ini subur terjadi. Detik.com dan Carrefour misalnya. Detik.com masih mengupah wartawannya di bawah jumlah upah layak wartawan,[10] sementara Carrefour memiliki sederet permasalahan perburuhan.[11] Kedua perusahaan ini berada di bawah kepemilikan majikan yang sama, yaitu Chairul Tanjung. Majikan yang tak memberi upah cukup bagi wartawan dan buruhnya untuk berlibur ke Bali.

[1] Okezone, Sampah Berserakan di Gedung Sate usai Demo Mayday, 1 Mei 2013. http://bandung.okezone.com/read/2013/05/01/526/800591/sampah-berserakan-di-gedung-sate-usai-demo-may-day/large dan Vivanews, Usai Demo Buruh Istana Negara Dikepung Sampah, 1 Mei 2013. http://metro.news.viva.co.id/news/read/501142-usai-demo–istana-negara–dikepung–sampah

[2] Detiknews, Usai Aksi Buruh, GBK Dipenuhi Sampah, 1 Mei 2014. http://news.detik.com/comment/2014/05/01/182603/2570893/10/usai-aksi-buruh-kawasan-gbk-dipenuhi-sampah?nd771106com

[3] Detikfinance, Upah RP 2,4 Juta /Bulan, Buruh: Nggak Bisa Liburan Ke Bali, 7 September 2014. http://finance.detik.com/read/2014/09/07/162410/2683667/4/upah-rp-24-juta-bulan-buruh-nggak-bisa-liburan-ke-bali

[4] Detiknews, Motor-motor Keren Saat Buruh Tuntut Kenaikan Upah,  1 November 2013. http://news.detik.com/read/2013/11/01/182937/2401896/10/motor-motor-keren-saat-buruh-tuntut-kenaikan-upah?nd771104bcj

[5] Metrotvnews, Buruh Boikot Dua Media di Balaikota, 1 November 2013. http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/01/5/191827/Buruh-Boikot-Dua-Media-di-Balaikota

[6] Koranperdjoeangan, Aparat Pukul Mundur Buruh Indofood Purwakarta, 2 Juli 2014 http://www.koranperdjoeangan.com/aparat-pukul-mundur-buruh-indofod-purwakarta.html

[7] Pamela j Shoemaker & Stephen D Reese, Mediating The Message, 1996, Mew York: Longman. h. 60

[8] Tempo.co, DI Asia tenggara, Gaji Jurnalis Indonesia Rendah, 4 November 2014. http://www.tempo.co/read/news/2013/11/04/173526902/Di-Asia-Tenggara-Gaji-Jurnalis-Indonesia-Rendah

[9] Merdeka.com, AJI: Upah Layak Jurnalis Lajang di Jakarta Rp. 5,4 Juta, 30 April 2013. http://www.merdeka.com/peristiwa/aji-upah-layak-jurnalis-lajang-di-jakarta-rp-54-juta.html

[10] Gajimu.com, Gaji Jurnalis Masih Di Bawah rata-rata, tanpa tanggal. http://www.gajimu.com/main/gaji/kisaran-gaji/cek-gaji-jurnalis

[11] Merdeka.com, Kenapa Carrefour Selalu Dibelit Masalah Perburuhan?, 8 November 2012. http://www.merdeka.com/uang/kenapa-carefour-selalu-dibelit-masalah-perburuhan.html

 

*) Dicopy dari tulisan Azhar Irfansyah di http://remotivi.or.id/pendapat/rutinitas-berita-dan-sinisme-terhadap-buruh-0

Industri televisi swasta tumbuh dalam kontradiksi. Tegangan antara institusi bisnis dan institusi sosial.

Mari cermati beragam kritik terkait industri televisi yang akhir-akhir ini muncul dalam diskursus ruang publik kita. Industri televisi dianggap telah menyalahgunakan pengelolaan frekuensi dengan menayangkan berbagai tayangan yang tidak bermanfaat bagi publik. Penyalahgunaan frekuensi ini merentang dalam banyak hal, mulai dari penggunaan televisi untuk kepentingan politik (seperti yang kita lihat selama hiruk-pikuk pemilu), sampai penayangan berbagai tayangan hiburan yang terasa berlebihan (seperti siaran langsung pernikahan selebritas).

Rangkaian kritik tersebut, jika dirangkum, bertolak dari pandangan bahwa televisi—seperti media pada umumnya—mula-mula adalah sebuah institusi sosial. Sebagai sebuah institusi sosial, di dalam televisi melekat sebuah tanggung jawab agar berbagai tayangan yang ditampilkan memiliki manfaat secara langsung bagi “kepentingan publik”. Problemnya, di saat yang bersamaan ia juga merupakan institusi bisnis. Dengan kata lain, televisi berada dalam tegangan antara apakah ia harus menjalankan fungsi sosialnya, atau melakukan akumulasi keuntungan sebesar-besarnya.

Televisi di Indonesia dianggap lebih menonjolkan perannya sebagai institusi bisnis yang berjalan dalam logika kapital. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan tesis bahwa sedari mula, kehadiran televisi swasta di Indonesia memang diniatkan sebagai sebuah institusi bisnis yang menarik kapital besar. Independensi dan peran sosial-politik televisi swasta dibonsai rezim sejak awal. Ini berbeda dari sejarah media cetak di Indonesia yang awal kehadirannya lebih memiliki semangat sebagai institusi sosial. Pangkalnya, tidak seperti sektor ekonomi lain di era 1980-an di mana pemerintah mengeluarkan paket deregulasi secara bebas, dalam pengawasan televisi tidak keluar paket deregulasi.

Pemerintah Orde Baru dengan sadar bisa melihat kemungkinan bahwa deregulasi di sektor televisi bisa membawa kemungkinan hilangnya kekuasaan dan hegemoni negara. Itulah mengapa liberalisasi ekonomi tidak dibarengi liberalisasi politik. Karena jelas esensinya tidak dimaksudkan untuk mendorong proses demokratisasi, namun cenderung dimaksudkan untuk membuka keran masuknya kapital yang semakin mendorong ekonomi pasar. [i]

Gerak Industri Televisi

Industri media di Indonesia tidak pernah sama sejak munculnya televisi swasta di akhir dekade 1980-an. Semakin berkaitnya Indonesia pada arus modal internasional seiring masifnya perkembangan teknologi komunikasi telah menimbulkan kekhawatiran pemerintah. Kekhawatiran yang muncul karena di satu sisi rezim tetap ingin memelihara struktur politik otoritarian dan di sisi lain harus memenuhi tuntutan liberalisme ekonomi internasional menciptakan dinamika sendiri dalam struktur ekonomi kapitalis Orde Baru.[ii]

Dalam konteks itu monopoli informasi yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan TVRI mendapatkan ancaman yang tidak main-main. Ledakan perkembangan teknologi video serta transmisi luberan di daerah-daerah perbatasan membuat orang memiliki sarana untuk mengakses tayangan selain dari TVRI.

Sementara pada waktu yang sama, tayangan-tayangan yang muncul di TVRI pun mengalami penurunan kualitas. Pelarangan iklan di tahun 1981 telah membuat televisi pemerintah ini kekurangan dana untuk memproduksi tayangan-tayangan yang menarik penonton. Mau tidak mau, ada kebutuhan untuk melahirkan televisi-televisi swasta yang bisa menarik kembali para penonton dari pengaruh produk “asing”agar tidak membahayakan kehidupan rezim namun tetap bisa dikontrol dan tidak membahayakan “stabilitas”.

Untuk membaca gerak industri televisi komersial sejak awal kemunculannya sampai sekarang sendiri bisa kita baca dengan meminjam pisau analisis yang diajukan Vincent Mosco dalam buku the Political Economy of Communication (2009) yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturisasi.

Komodifikasi berkaitan dengan tiga hal; konten, audiens, pekerja. Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Jika nilai-guna sebuah tayangan televisi diukur dari kegunaannya dan berakhir dengan konsumsi (ditonton), maka nilai tukar diukur dari potensi tayangan-tayangan tersebut dijual dan berakhir dengan pertukaran.

Tayangan-tayangan yang sebelumnya tidak memiliki makna diolah sedemikian rupa oleh televisi untuk mendapatkan “nilai tukar”. Pemilik televisi mengubah nilai guna menjadi nilai tukar dengan menjual tayangan-tayangannya kepada  para pengiklan. Semakin besar jumlah penonton yang mengakses tayangan tersebut, bagi pengiklan akan semakin tinggi nilai atau harganya. Rating televisi menjelaskan bagaimana proses itu terjadi.

Pada awal kemunculan televisi swasta, tayangan-tayangan yang nyerempet politik dilarang. Informasi politik terpusat di TVRI. Mau tidak mau televisi swasta harus mengembangkan tayangan-tayangan non-politik dan yang pasti, menghibur dan mengundang pengiklan. Proses komodifikasi juga berlangsung lebih cepat karena kemunculan televisi swasta di Indonesia tidak berada dalam kerangka melakukan liberalisasi informasi (televisi) melainkan untuk mempertahankan dominasi rezim Orde Baru.

Monopoli yang sebelumnya berada dalam genggaman TVRI digeser kepada televisi-televisi swasta. Izin kepemilikan televisi swasta diberikan kepada kroni-kroni rezim dan digenjot untuk melakukan produksi konten-konten lokal sementara TVRI tetap menjadi “panglima” di mana televisi-televisi swasta wajib me-relay tayangan-tayangan tertentu. Modal dalam industri televisi pun tetap bisa berputar.

Perhatikan nama-nama yang mendapatkan izin pemerintah untuk memiliki televisi swasta. RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto, TPI dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak pertama Soeharto, SCTV dimiliki Henry Pribadi dan Sudwikatmono pengusaha yang dekat dengan keluarga Cendana, ANTV dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono yang merupakan elite Golkar. Sementara Indosiar dimiliki Salim Group milik Liem Sioe Liong yang merupakan lingkaran dekat Soeharto.

Dengan laju tayangan-tayangan televisi lebih banyak didasarkan pada orientasi profit. Bisa dilihat bahwa angka impor tayangan asing yang mencapai 90 %, televisi swasta yaitu berupa film-film barat, telenovela, kartun-kartun, dan program populer lainnya.[iii] Dalam proses komodifikasi, kapital bertindak untuk memisahkan pengetahuan dari ketrampilan mengeksekusi tugas. Akhirnya para pekerja televisi hanya bekerja demi tujuan memperoleh akumulai kapital. Jurnalis atau pekerja televisi teralienasi dari produk jurnalistik atau tayangan yang mereka hasilkan.

Spasialisasi merupakan proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam mekanisme produksi. Dengan kata lain, ia melipat ruang dan waktu untuk melakukan akumulasi kapital. Proses ini dilakukan dengan dua cara, horizontal dan vertikal. Spasialisasi horizontal muncul ketika pemilik modal menggabungkan berbagai jenis media dalam satu kontrol kepemilikan. Misalnya, pemilik media konvensional seperti surat kabar melakukan pembelian televisi maupun media online. Atau juga sebaliknya.

Sedangkan spasialisasi vertikal berjalan ketika pemilik media menggabungkan perusahaan dari berbagai jenis industri untuk mendapatkan kontrol atas proses produksi. Spasialisasi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan berlipat sekaligus mengurangi ketidakpastian pasar yang bisa menghambat mekanisme produksi.

Contoh spasialisasi ini semakin gamblang dilihat dalam industri media pasca 1998. Misalnya saja seperti Kompas Gramedia Group (KKG) yang pada awalnya fokus dalam bisnis media cetak kemudian membuat Kompas TV yang bekerjasama dengan stasiun televisi daerah. Contoh lain misalnya kepemilikan Bakrie Group yang tidak hanya memiliki saham dalam industri media tetapi juga menguasai bisnis lain seperti telekomunikasi, agribisnis, dan minyak.

Strukturisasi menjelaskan proses pembentukan struktur sosial oleh agen, di mana bagian-bagian dalam struktur tersebut saling mempengaruhi masing-masing bagian serta struktur secara keseluruhan. Strukturasi menghasilkan serangkaian relasi kuasa maupun hubungan sosial baik di antara kelas gender, ras, sampai ihwal gerakan sosial. Dalam konteks industri televisi bisa disederhanakan bahwa struktur (politik, sistem penyiaran, tayangan-tayangan televisi) dan penonton (individu) saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.

Ilustrasi sederhana yang menjelaskan konsep ini misalnya ketika kita melihat istilah “frekuensi milik publik” hari-hari ini. Istilah tersebut sebenarnya memiliki konsekuensi politik yang besar karena membuat televisi sebagai penyewa frekuensi memiliki tanggungjawab sosial untuk  memproduksi tayangan-tayangan yang memiliki manfaat atau, paling tidak, tidak melanggar kepentingan publik. Namun ia tidak begitu populer di mata masyarakat. Karena sejak awal keberadaannya, industri televisi dimaklumi untuk melakukan akumulasi kapital, maka mereka berhak menggunakan frekuensi sekehendaknya. Bahkan ketika tayangan-tayangan yang ditampilkan bermuatan negatif bagi kepentingan publik.

Menggeser Monopoli

Seperti disinggung di atas, industri televisi berjalan dalam pengawasan yang ketat dari pemerintah dengan proteksi ketat yang diberlakukan sejak awal. Artinya, kepemilikan yang dimiliki pemilik televisi tersebut sebenarnya tidak memberikan kontrol sempurna atas proses produksi.  Campur tangan pemerintah yang terlalu banyak membuat prinsip persaingan bebas terhambat. Selain itu, industri televisi di Indonesia juga tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai sehingga tidak terjadi industrialisasi yang mandiri. Inilah yang disebut oleh Yoshihara Kunio (1990)sebagai kapitalisme semu (ersatz).

Besarnya campur tangan pemerintah dan minimnya teknologi yang memadai misalnya bisa dilihat dari keberadaan TPI. Meski memakai nama televisi pendidikan yang salah satu tujuan awalnya ingin membantu program-program pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), dalam perkembangannya definisi “pendidikan” yang muncul dalam tayangan-tayangannya menjadi begitu luas. Dengan menyandang status sebagai Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan (SPTSP) berdasarkan Surat Keterangan Menteri Penerangan No. 111/1990, TPI bisa bersiaran secara nasional.

Ironisnya, siaran nasional yang dilakukan TPI dilegalkan dengan menggunakan studio dan infrastruktur penyiaran yang dimiliki TVRI. Pada titik ini TPI mendapatkan keuntungan yang luar biasa karena bisa menjangkau penonton dalam skala yang lebih luas dibanding televisi swasta lain yang masih dibatasi wilayah tertentu. Kelak, berbagai kemudahan dan fasilitas yang didapatkan TPI ini menghancurkan model sistem televisi berjaringan di Indonesia yang sebelumnya hendak dikembangkan, jika melihat gagasan awal kemunculan televisi komersial.

Upaya pemerintah untuk tetap memegang kontrol informasi juga terlihat dari berbagai regulasi yang tumpang tindih dan tambal sulam. Misalnya bisa dilihar dari Surat Keputusan Menteri Penerangan No 111/1990 yang menjelaskan tentang pembagian Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan yang diberikan otoritas bersiaran nasional dan Stasiun Televisi Swasta Umum yang hanya boleh bersiaran lokal. Regulasi ini menjadi dasar bagi struktur desentralisasi televisi yang kemudian populer disebut sistem televisi jaringan.

Namun, struktur desentralisasi tersebut diubah secara radikal melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 84A tahun 1992 dan Nomor 04A/1993. Sederhananya, regulasi tersebut mengatur tentang perubahan siaran saluran  terbatas menjadi siaran nasional. Sejak saat itu semua televisi swasta diizinkan bersiaran secara nasional.[iv] Itulah awal mula terbentuknya sistem yang sangat tersentralisasi di Jakarta yang sampai saat ini sangat merugikan penonton televisi di daerah luar Jakarta.  

Belanja iklan melambung tinggi setelah terbentuknya sentralisasi penyiaran. Stasiun televisi diuntungkan karena bisa meraup iklan sebanyak-banyaknya bila dibandingkan dengan ketika hanya bersiaran lokal. Tahun 1993, ketika televisi sudah diizinkan beroperasi nasional, belanja iklan televisi sudah mencapai angka Rp 613 M. Jangan lupa juga bahwa pada tahun ini pemerintah sudah menyatakan bahwa tidak akan ada lagi izin siaran bagi televisi swasta yang mau masuk gelanggang.

Bukankah ini menjadi upaya proteksi untuk tetap menjaga para pemain lama yang sudah ada? Apalagi jika menyimak pada 1995, belanja iklan televisi melejit 300 % menjadi lebih dari 1, 6 Triliun. Pada tahun 1997, ketika badai krisis ekonomi mulai menyerang, belanja iklan televisi lebih dari Rp 2, 6 triliun.[v]

Televisi menjadi industri yang padat modal. Pemerintah pun berusaha menjaga stabilitas pasar agar kelanggengan rezim tetap terjaga dan akumulai kapital sebesar-besarnya tetap didapatkan oleh kroni-kroninya.

Puncak upaya pemerintah adalah ketika pembahasan RUU Penyiaran pertama yang akan dimiliki oleh Indonesia. Melihat dominasi kroni Soeharto yang bermain dalam industri televisi, muncul suara-suara dari DPR agar regulasi mulai diperketat. Salah satu yang krusial adalah soal pembatasan jangkauan siaran nasional hingga 50 % dari populasi nasional. Jika aturan ini diberlakukan, pendapatan iklan para pemilik televisi akan menurun drastis. Tapi tentu saja itu tidak terjadi.

Anak-anak Soeharto yang memiliki televisi berhasil memaksa ayahnya agar menolak rancangan yang diusulkan DPR. Inilah rancangan undang-undang pertama di era Orde Baru yang ditolak oleh Soeharto dan dikembalikan kepada DPR untuk direvisi. Klausul ihwal pembatasan siaran tadi akhirnya dihapus.

Kontrol negara selama bertahun-tahun telah dengan berhasil membentuk pasar media yang kuat dan tetap menguntungkan secara bisnis.  Reformasi 1998 tidak banyak mengubah struktur pasar media yang sudah terbentuk. Struktur kepemilikan memang berubah, tidak didominasi lagi oleh kroni Soeharto. Namun wajah televisi tetap dihadapkan pada kebijakan negara yang berselingkuh dengan industri televisi. Sementara kita, para penonton televisi, tetap hanya menjadi pasar yang menggiurkan.

[i] Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Televisi dan Intervensi Negara : Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo halaman 173

[ii] Hidayat, Dedy N. Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru dalam Hidayat, Dedy N (editor). 2000. Pers dalam “Revolusi Mei” : Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia halaman 127-164

[iii] Sen, Krishna dan David Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Arus Studi Informasi halaman 140

[iv] Kitley, Philip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi halaman 241

[v] Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia : Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta : Bentang Pustaka halaman 131

*) Dicopy dari tulisan Wisnu Prasetya Utomo di http://remotivi.or.id/pendapat/membaca-gerak-industri-televisi

 

Berpuasa di Indonesia rasanya lebih mudah bila dibandingkan dengan di negara lain. Tidak hanya karena waktu yang relatif pendek, yakni sekitar 12-13 jam (bandingkan, misalnya, dengan di negara-negara Eropa yang bisa mencapai 16-18 jam), tetapi juga karena televisi pun beramai-ramai menampilkan program untuk merayakan bulan ini. Selama satu bulan, kita akan jauh dari tayangan-tayangan yang mengumbar aurat dan menggoda iman. Para selebritas yang biasanya tampil dengan pakaian serba minim mendadak berjilbab dengan ngejreng, siraman rohani bertebaran sepanjang waktu, kuis-kuis berhadiah jutaan rupiah pun menjajah layar kaca kita.

Namun, apakah banyaknya tayangan itu benar-benar dimaksudkan untuk menghormati bulan Ramadhan? Sepertinya tidak. Barangkali tidak akan pernah. Tayangan-tayangan tersebut mengisi Ramadhan dengan menghilangkan nilai-nilai Ramadhan. Di minggu pertama saja, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) setidaknya sudah melayangkan teguran kepada 4 tayangan. Ironisnya, teguran tersebut tidak hanya diberikan kepada tayangan yang sudah bisa “diprediksi” seperti Sahurnya Fesbuker (ANTV) dan Yuk Kita Sahur (Trans TV), tetapi juga Hafidz Indonesia (RCTI) yang banyak disebut sebagai tayangan berkualitas.

Fakta sederhana tersebut menjadi ilustrasi betapa religiotainment ala televisi menampilkan Ramadhan sebagai bulan yang penuh sesak dengan hiburan bertopeng agama. James Hoesterey dalam buku Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) mengatakan bahwa revivalisme Islam membuat otoritas keagamaan menyebar di berbagai entitas tak terkecuali dalam televisi (media). Otoritas keagamaan televisi ini dalam pengalaman di Indonesia nampak dalam fenomena yang disebut Hoesterey sebagai tele-dai.

Tele-dai dengan gemilang memanfaatkan ceruk krisis kultural masyarakat karena gempuran gaya hidup materialistis dan hedonis. Terutama di bulan Ramadhan, hasrat untuk menyucikan diri membuat mayoritas masyarakat mendekat kepada agama. Kesadaran akan Tuhan(god consciousness) ini terjadi secara masif, apalagi di negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pendekatan diri kepada agama mendesak orang-orang ini untuk belajar agama secara praktis dan aplikatif.

Televisi hadir untuk menjembati keinginan tersebut. Televisi adalah media penyiaran dengan penetrasi informasi ke publik yang begitu kuat. Jumlah frekuensi penyiaran yang terbatas, alih-alih membatasi ruang gerak televisi, justru membuat televisi semakin gencar masuk ke dalam ruang privat masyarakat. Hal inilah yang membuat perjumpaan televisi dengan syiar agama begitu mesra.

Kekuatan visual—ditambah banyaknya waktu dan kuatnya penetrasi—juga membuat televisi mampu mempengaruhi memori publik. Pengaruhnya jauh berbeda jika kita bandingkan, misalnya, dengan media cetak. Ketika syiar Islam berjalin kelindan dengan televisi, ia tidak lagi sekadar perkara fikih. Dalam era tele-dai, syiar agama telah menjadi gaya hidup; ustad-ustad menjadi tak jauh beda dari merk dagang kepercayaan. Mencari kesegaran rohani di televisi seperti pergi ke supermarket dengan banyak pilihan ustad. Kita tinggal memilih mana yang sesuai dengan kehendak hati.

Yang sakral, yang profan, yang etis, yang estetis, lebur dalam arus besar budaya populer. Ustad-ustad muda yang sering (di)tampil(kan) di televisi menjelma menjadi selebritas yang punya banyak penggemar fanatik. Tidak hanya tampil dalam tayangan ceramah keagamaan, lantas ustad-ustad ini muncul dalam sinetron dan iklan. Kehidupan pribadinya kerap dibeberkan pula dalam  infotainmen. Ketika hal ini terjadi, selera pasar lah yang kemudian berbicara. Frekuensi tayang di televisi tidak berbanding lurus dengan pemahaman sang ustad tentang agama. Ustad-ustad ini menjadikan agama sebagai bungkus, bukan isi.

Kita tidak akan menyaksikan ustad-ustad seleb ini bicara tentang isu keagamaan yang akhir-akhir ini kerap berujung pada konflik sosial. Tema-tema ceramah hanya sampai pada tataran moralitas normatif.  Pada akhirnya, gegap gempita hiburan di sekitar ceramah keagamaan justru meminggirkan (bahkan meniadakan) pesan-pesan religius yang ingin disampaikan. Sebagai produk industri budaya populer, komodifikasi agama dalam tayangan televisi adalah satu keniscayaan.

Setiap tayangan yang tidak laku akan cepat mati. Jika ingin berusia panjang dan mendapatkan rating tinggi, nilai tambah harus diberikan: bumbu seks, humor kasar maupun kekerasan ditaburkan di sana-sini. Nilai tambah yang, pada satu titik, justru berakibat pada hadirnya kedangkalan. Sayangnya, hari-hari ini, proses pendangkalan tersebut bisa kita rasakan dengan begitu masif.

Tak perlu heran jika di setiap waktu sahur, lawakan sarkastik ala Olga Syahputra maupun Eko Patrio—sang anggota dewan yang terhormat—lah yang muncul. Alih-alih tertawa seperti para penonton di studio televisi tersebut dan bersemangat untuk makan hidangan sahur, tayangan-tayangan ini justru membuat saya muak. Religiusitas macam apa yang bisa didapatkan dengan menonton tayangan semacam itu?

Pendangkalan pesan sebagai konsekuensi komodifikasi yang terjadi di televisi patut dijadikan salah satu penyebab kelesuan rohani masyarakat. Televisi tidak menampilkan agama sebagai basis norma-norma religius yang menjadi tuntunan masyarakat. Agama justru dibajak menjadi modus untuk menarik keuntungan. Ia tidak lebih dari sekadar tontonan.

Karena hanya memanfaatan momentum Ramadhan,  konten keagamaan dalam tayangan-tayangan ini diperlakukan secara sambil lalu. Asosiasi citra beragama didangkalkan. Simak misalnya, dalam banyak tayangan maupun kuis kerap dikutip ayat-ayat Al-Quran tanpa pemberian konteks yang tepat. Tentu ironis bagaimana simbol-simbol agama ditampilkan serampangan sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan tafsir para penonton. Sebagai tontonan sambil lalu, tak ada nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi. Jejaknya ini begitu mudah terhapus.

Selepas Ramadhan, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar tayangan tersebut hilang tanpa bekas. Selebritas perempuan kembali melepaskan jilbabnya, reality show mengumbar kembali caci maki dengan vulgar, dan sebagainya.

Puasa, pada hakikatnya berfungsi melatih kesabaran, yang tidak sekadar perkara makan dan minum. Ada dimensi sosial yang melekat di dalamnya. Namun, televisi nyaris selama 24 jam sehari menjejali masyarakat dengan berbagai iklan yang memiliki daya hipnotis tinggi. Adrenalin khalayak sebagai konsumen (alih-alih warga negara) dipacu kencang dengan berbagai iklan yang merentang, dari makanan, obat, alat komunikasi, sampai fashion. Relasi gempuran iklan ini menegaskan apa yang pernah disebut Kuntowijoyo dengan budaya pasar. Siklus komodifikasi agama berputar sempurna.

Pada akhirnya, memang tak ada nilai-nilai Ramadhan dalam tayangan Ramadhan. Berharap pada televisi barangkali akan terasa fatalis karena kodratnya televisi memangberorientasi pada akumulasi kapital sebagai anak kandung industri budaya populer. Pada momen krusial semacam ini, kita tentu berharap pada negara untuk menegakkan regulasi dan melindungi publik. Atau kalau negara memang sudah segendang sepenarian dengan derap kapital, harapan tersisa hanya kepada publik agar tayangan semacam itu tidak berulang setiap tahun. Bagaimana?

*) Dicopy dari tulisan Wisnu Prasetya Utomo di http://remotivi.or.id/pendapat/ramadhan-televisi-dan-kelesuan-rohani