Bencana dan musibah datang silih berganti. Bencana jurnalisme tak kunjung pergi. Jurnalisme bencana, bencana jurnalisme!
![Ilustrasi-Jurnalisme-Bencana](https://nyarisnekat.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/01/ilustrasi-jurnalisme-bencana.jpg?w=300&h=142)
Setiap terjadi bencana, hujatan dan amarah selalu saja dilontarkan publik terhadap media—khususnya televisi—karena praktik cemar dalam liputannya. Kali ini, kemarahan publik kembali menderas kepada stasiun televisi yang dinilai mengeksploitasi keluarga korban hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 pada Minggu (28/12), baik dengan pertanyaan-pertanyaan reporternya yang bertendensi memainkan emosi, dan mendesak. Kamera pun dengan segera melakukan zoom in ketika sasaran bidik menagis.
Beberapa pertanyaan standar yang diajukan di antaranya; “Bagaimana perasaan keluarga korban?”, “Bagaimana jika pesawat itu benar-benar hilang?”, “Apakah ada bfirasat sebelumnya?” serta sederet pertanyaan sejenis yang diajukan untuk mengaduk perasaan narasumber.
Praktik ini sudah berlangsung lama. Dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010), saya mencatat berondongan pertanyaan seorang reporter televisi kepada seorang bapak yang anaknya terjebak dalam sekolah yang rubuh akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat, akhir September 2009. Siaran itu ditayangkan langsung, barangkali disaksikan jutaan orang, termasuk anak-anak.
Reporter itu mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat keadaan psikologis korban semakin terganggu, seperti mengenai perasaan serta andaian apabila anak perempuannya tidak ditemukan atau tewas. Saya melihat wajah sang bapak, yang tertunduk lesu. Ia tersudut. Ia hanya bisa berkata,”Semua saya pasrahkan kepada Allah.” Tetapi reporter itu tak berhenti, dan sepertinya tak melihat wajah memelas sang bapak. Ia terus mencecar dengan berondongan pertanyaan, tanpa rasa empati terhadap korban yang sedang kesusahan itu.[1]
Kekacuan juga terlihat dalam peliputan bencana—berikutnya disebut jurnalisme bencana—saat longsor melanda Banjarnegara, Jawa Tengah pada awal Desember ini. Tren peliputannya serupa, yaitu mengejar sisi dramatis dari bencana, dan minim mendorong kesiapsiagaan atau pun menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.
Beberapa liputan tentang penyebab bencana biasanya sarat spekulasi, bahkan beberapa media mewarancai paranormal demi mengejar sensasi. Ketika Merapi meletus pada tahun 2010 lalu, tayangan “Silet” (7/11/2010) disebutkan bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka, dan pada tanggal 8 November 2010 akan terjadi bencana besar dengan mewawancarai paranormal. Korban bencana letusan Merapi bertambah resah. Ratusan pengungsi meminta dipindahkan dari pos-pos pengungsian yang jauh dari lereng Merapi. Para relawan disibukkan kegiatan tambahan untuk menenangkan pengungsi yang panik.
Sebagai puncak dari kekesalan terhadap kecerobohan pemberitaan media, beberapa warga melarang media tertentu masuk dan meliput ke dusun mereka. Sebagian yang lain melaporkan tanyangan “Silet” ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), meminta agar tanyakan itu dihentikan. Yang lain mengirim surat pengaduan ke Dewan Pers soal pemberitaan bencana di media massa yang dinilai menyesatkan. Apakah ada yang lebih buruk bagi media, selain dibenci oleh masyarakat pembaca dan pemirsanya sendiri?
Dalam kasus hilangnya pesawat AirAsia, terlihat beberapa media mulai menampilkan sisi mistis dari bencana ini. Beberapa paranormal kembali diwawancarai, untuk menjelaskan—padahal justru membingungkan—penyebab hilangnya pesawat tersebut, di mana lokasinya, hingga kapan akan ditemukan.
Komodifikasi Bencana
Kenapa amis darah dan air mata begitu lekat dengan jurnalisme bencana di Indonesia? Saya melihat akar masalah dari tampilnya tayangan seperti ini adalah cara pandang media yang memberlakukan korban bencana sebagai komoditi belaka. Dengan sudut pandang ini, maka bad news is good news. Semakin pedih tangisan korban, sebuah tayangan akan dianggap semakin ‘hebat’. Atau, dalam bahasa lain, semakin liar perang, semakin banyak kematian akibat bencana alam dan wabah, semakin banyak kelaparan, sebuah berita dianggap akan semakin ‘dramatis’ dan akan melonjakkan rating. Kenaikan rating berati iklan, dan semakin banyak iklan berarti semakin banyak laba.
Jadi, eksploitasi terhadap korban demi mengejar drama ini kerapkali dilakukan bukan karena ketidaktahuan tentang etika peliputan, tetapi juga karena kesengajaan. Wawancara saya dengan salah seorang produser stasiun televisi di Jakarta menegaskan hal ini: “Sebagai televisi berita, target utama kami dalam meliput bencana adalah kecepatan pemberitaan dan memberikan gambaran kondisi yang komprehensif. Selain itu, berbeda dengan koran atau media online, kami butuh gambar dan suasana yang dramatis untuk menarik pemirsa. Masyarakat Indonesia itu menyukai kisah-kisah melodrama. Bagi kami, rating adalah segalanya. Kalau pemirsa menyukai tayangan seperti itu kami tentu tak bisa tidak memberitakannya. Lagi pula, ini dibutuhkan untuk menarik empati bagi masyarakat untuk menyumbang korban bencana.”[2]
Rating dalam media televisi, hits bagi media online, dan tingkat keterbacaan bagi media cetak, telah menjadi panglima dalam liputan media. Semakin baru dan heboh sebuah berita, dianggap semakin tinggi kemampuannya menarik perhatian. Sebagaimana lazimnya, industri mensyaratkan adanya keuntungan atas semua langkah mereka. Inilah yang menjadi kontradiksi media; sementara publik menuntut adanya tanggungjawab sosial dari media, yang menjadi perhatian industri media adalah tingkat pendapatan laba.
Pertanyaan ini juga layak diajukan ketika media mengumpulkan bantuan lalu menyalurkannya sendiri. Apakah kini masih bisa mendudukkan media sebagai ‘anjing penjaga’ yang independen di tengah derasnya industrialisasi dalam tubuh media?
Masalah kekacauan posisi sebagai ‘anjing penjaga dan pengawas’ atau justru ‘pihak yang harus diawasi’ ini terlihat jelas dalam corporate social responsibility (CSR) terselubung di balik penyaluran bantuan melalui media massa. Praktik penyaluran bantuan ‘atas nama’ media ini marak sejak bencana tsunami Aceh tahun 2004. Penelitian oleh Muhammad Fuad dkk (2006) dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) menyebutkan, dalam satu bulan pertama setelah tsunami Aceh, gabungan Metro TV dan harian Media Indonesia menggaet dana bantuan dari masyarakat sebesar Rp 138,2 miliar. Pada akhir penayangan program ini, yaitu 29 Juli 2005, mereka berhasil mengumpulkan dana Rp 169 miliar.
Sampai tanggal 10 Agustus 2005, menurut penelitian PIRAC tersebut, sebanyak 35 perusahaan media, termasuk media cetak dan elektronik, mengumpulkan dana bantuan untuk tsunami Aceh lebih dari Rp 367 mliar. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang disiapkan pemerintah untuk menanggulangi bencana Aceh melalui anggaran belanja negara yang hanya Rp 8,3 miliar.
Dengan jeli media memanfaatkan jaringan distribusi dan kepercayaan publik untuk berlomba menjadi yang terbanyak dalam pengumpulan bantuan. Media menggunakan kredibilitasnya di benak khalayak untuk menjalankan peran sebagai distributor bantuan atau minimal ruang publikasi kepedulian sosial, iklan duka-cita atau data korban bantuan bencana. Masduki (2007) menulis bahwa, “Langkah ini keluar dari pakem pokok media dalam mengontrol penyaluran bantuan” (hal. 376).
Patut dipertanyakan, betulkah sumbangan itu sudah disampaikan secara utuh kepada korban yag berhak? Bagaimana kontrol masyarakat terhadap media sehingga jika ada penyelewengan dapat terdeteksi? Bagaimana masyarakat dapat menuntut pertanggungjawaban terbuka atas penggalangan dana yang dilakukan media?
Tak hanya mengawal bantuan yang disampaikan, pihak media harus mengawal bantuan yang disalurkan langsung oleh medianya sendiri. Dan pekerjaan terakhir ini sepertinya mustahil, karena seperti pepatah lama, gajah di pelupuk mata seringkali tak tampak.
Politisasi Bencana
Selain motif ekonomi, praktik cemar jurnalisme bencana di Indonesia juga bisa menjelaskan tentang politik media. Dapur media di Indonesia tidaklah suci, banyak banyak yang telah tercemar oleh bias kepentingan. Baik kepentingan pribadi (penulis atau pemilik media), maupun lembaga (baca: perusahaan).
Apalagi, hampir semua media di Indonesia dimiliki oleh perorangan, atau setidaknya oleh perusahaan, yang juga memiliki bisnis lain. Akibatnya, sejak semula, media tidak pernah bisa ‘steril’ dalam pemberitaan. Ada bias kepentingan di balik pemilihan tayangan maupun setiap kemunculan berita di media massa.[3]
Contoh paling nyata dari bias kepentingan pemilik media ini adalah pemberitaan soal bencana Lumpur Lapindo di media-media yang dimiliki oleh Grup Bakrie, yang juga menjadi memiliki PT Lapindo Brantas. Di media milik Bakrie, kebanyakan menampilkan tentang hal-hal ‘baik’ yang telah dilakukan perusahaan tersebut kepada korban semburan lumpur: tentang ganti rugi yang mulus dan menguntungkan korban, bahkan ada tayangan yang menampilkan korban yang menyatakan bahwa, “lumpur telah membawa kemakmuran,” dan “membuat kami bertambah kaya.”[4]
Dalam bentuk yang lain, peliputan yang tak berimbang antara letusan Gunung Merapi dan tsunami Mentawai pada tahun 2010, barangkali juga dikarenakan adanya bias kepentingan media. Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai memang sangat terlambat dan kurang memadai. Hingga hari kedua pasca-bencana gempa dan tsunami yang menerjang pada Senin (25/10/2010), gambaran tentang Mentawai masih samar. Masih sedikit foto dan video dari ladang bencana Mentawai. Sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal ‘drama’ sang juru kunci Merapi, Mbah Marijan atau tentang kematian wartawan dalam peliputan. [5] Jelas bahwa Mentawai dilupakan, karena pekerja media, juga mengikuti pola pemikiran sesat sebagaimana pemerintah saat itu yang memarjinalkan pulau-pulau kecil dan masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan.
Nyatanya, media membebek ketidakjelasan kriteria yang dibuat pemerintah tentang Merapi sebagai ‘bencana nasional’, sedangkan Mentawai adalah ‘bencana daerah’. Dalam hal ini, media boleh dituding telah diskrimintif dan Jawa-sentris dalam pemberitaan bencana yang datang beriringan itu, dengan korban yang nyaris setara. Atau apakah hal ini karena banyak wartawan dan bahkan pemilik media yang memiliki kedekatan emosional (dan sejarah) dengan Yogyakarta dibandingkan Mentawai?[6]
Tidak Mendidik
Dengan tren pemberitaan seperti disebut di atas, maka mengharapkan peran mendidik media dalam jurnalisme bencana mereka menjadi sangat sulit. Misalnya, walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana, mitigasi bencana belum menjadi tren dalam pemberitaan media. Media selalau saja sibuk mengejar efek dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang.
Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang berhadapan dengan bencana alam seolah-olah dilupakan. Dengan cepat, media juga melupakan korban bencana begitu ‘drama’-nya dianggap tak laris, seperti burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis rempah korban, lalu mencari kematian lainnya. Pemberitaan soal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana nyaris tak disuarakan. Padahal, dalam banyak kasus, misalnya pasca-bencana Aceh, proses rekonstruksi dan rehabilitasi telah memicu bencana baru karena adanya kesenjangan, korupsi, hingga kembalinya korban ke tapak bencana yang sama sehingga rentan terdampak oleh bencana berikutnya. Proses rekonstruksi juga sangat menentukan untuk belajar agar ke depan bisa membangun komunitas yang lebih tahan dan kuat menghadapi bencana berikut, namun hal ini sangat jarang mendapat perhatian warga.[7]
Bahkan, ketika hak-hak dasar korban bencana (seperti barak, kesehatan, dan makanan) tak terpenuhi hingga tiga bulan setelah bencana, nyaris tak ada beritanya di media massa.[8] Tak ada media yang secara intens memantau bagaimana kondisi korban bencana di Mentawai dan juga Wasior, Papua beberapa tahun silam—yang juga jauh dari pusat kekuasaan dan kantor pusat media-media. Sesekali memang ada liputan media ke dua daerah itu, itu pun karena kebetulan ada lembaga negara ataupun LSM yang ‘membawa’ wartawan ke lokasi bencana itu. Nyaris tak ada media yang sengaja mengirim dan membiayai sendiri wartawannya untuk memantau kondisi di dua lokasi bencana itu.
Dalam kasus bencana kecelakaan pesawat terbang, ketika lebih fokus pada aspek dramatisasi, peliputan yang lebih memdalam tentang penyebab jatuhnya pesawat dan kemungkinan adanya ‘human error’ dan kesalahan sistemik akhirnya menjadi sangat minim diungkap. Padahal, jatuhnya pesawat yang berulangkali terjadi di Indonesia, namun, bencana ini seolah tidak menjadi pelajaran. Hingga saat ini, tak ada media di Indonesia, yang melakukan investigasi tentang persoalan kecelakaan pesawat terbang ini.
Media seringnya juga menganut prinsip ‘berita baru’. Begitu ada berita baru, berita yang lama biasanya akan tersingkir. Dengan tepat, Milan Kundera menggambarkan situasi ini dalam The Book of Laughter and Forgetting (1999), “Pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invansi Rusia ke Cekoslovakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi di Banglades, perang di Gurun Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja membuat orang lupa pada Sinai dan begitu seterusnya, hingga hampir-hampir setiap orang membiarkan segala sesuatunya dilupakan.”
Dan demikianlah yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun bencana, 2004 hingga 2014. Bencana Nabire yang segera dilupakan ketika gempa dan tsunami mengoyak Aceh dan Nias. Dan gempa Yogyakarta mengurangi perhatian orang terhadap bencana di Aceh. Merapi mengalihkan dari Mentawai. Demikian seterusnya, sampai bertahun kemudian bencana-bencana itu dilupakan, para korban yang belum semuanya ditangani kemudian ditinggalkan begitu saja, dan kita nyaris tak belajar dari setiap kejadian.
Seperti disebut sosiolog media John H Macmanus (1994), media telah mengekspos berbagai bentuk peristiwa becana alam seperti gempa dan banjir secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial semata. “Berita itu tak seksi lagi,” begitu mantra yang sering terdengar dari mulut wartawan atau editor untuk menolak berita yang sudah berulang-ulang kali dimuat. Walaupun masalah yang dihadapi masyarakat korban belum tuntas, seringkali, media tak lagi menampilkan berita tersebut dengan alasan tersebut. Secara konvensional, biasanya media menyaring berita yang layak dimuat atau tidak berdasarkan kriteria jumlah korban, jarak dari negara kita, kebaruan persitiwa, serta kemungkinan rating yang bisa diperoleh. Dalam konteks Indonesia, berita soal politik dan hukum, masih menjadi panglima dan seringkali mengalahkan isu-isu bencana.
Padahal, dalam jurnalisme bencana, yang paling penting sebenarnya adalah memberitakan dengan perspektif mitigasi bencana, bukan mengeksploitasi kepedihan saat tragedi terjadi. Bagaimana media memberi perspektif terhadap masyarakat untuk bersiaga, itulah yang harus menjadi dasar pijakan bagi jurnalisme bencana di negeri yang rentan bencana ini.
Menghukum Media
Kekacauan peliputan bencana pada penghujung 2014 ini ini, seperti mengulang kesalahan yang sama dalam berbagai peliputan bencana-bencana sebelumnya. Kekacauan yang menunjukkan adanya kontradiksi “…antara tugas yan suci dan pelaksanaan yang cemar, bukan hanya karena pelaksana yang tidak memadai, tapi juga karena niat buruk. Dalam bahasa legal, persoalannya bukan lagi sekedar “Disaster by accident, nor just by honest mistake, but also by malice.”
Jurnalisme bencana di Indonesia, nyatanya bisa menjadi bencana baru. Kekeliruan peliputan, karena bekal peliputan yang tidak memadai, baik disengaja atau tidak, harus dikontrol. Lalu, siapa yang bisa mengawal ‘anjing penjaga’ itu?
Kemunculan jurnalisme warga bisa menjadi jalan keluarnya.
Kekecewaan terhadap sempitnya ruang penyaluran dari media-media arus utama, semakin memperkuat munculnya media-media tandingan, salah satunya adalah media komunitas. Media tandingan ini, ada yang dibuat oleh komunitas korban maupun media yang dibuat oleh lembaga penyalur bantuan untuk menyukseskan program mereka.
Beberapa gambar terbaik saat tsunami, yang kemudian ditayangkan sejumlah televisi, ternyata juga diambil oleh warga, yang bukan wartawan terlatih. Dengan alat perekam video digital dan kamera digital, masyarakat kini telah bergerak jauh dalam jurnalisme partisipatif atau jurnalisme warga.
Tak hanya di Aceh, gerakan jurnalisme warga atau citizen journalism menyebar luas pasca-tsunami Aceh. Dan Gillmor, sebagaimana dikutip oleh Cooper (2007), menyebut bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004, sebagai titik balik kemunculan jurnalisme warga. Blog, daring, dan pesan singkat melalui telpon genggam mengalahkan sebaran berita di media massa dan lebih tepat waktu. Sebuah blog, www.waveofdestruction.org dikunjungi lebih dari 682.366 pengunjung selama empat hari.
Di Yogyakarta, gerakan media komunitas dipelopori oleh beberapa kelompok. Salah satunya dirintis oleh AJI Yogyakarta dengan membuat papan informasi yang ditempatkan di empat dusun, yaitu Semen (Bambanglipuro), Suren Wetan (Jetis), Pranti, dan Jonggaran (Pundong). Seminggu sekali, tim Papan Informasi AJI Yogyakarta memberikan informasi yang dinilai berguna buat masyarakat, seperti bagaimana hidup sehat di tenda, memasang sambungan listrik secara aman, cara membuat rumah tanggap gempa, cara membuat proposal, informasi NGO yang memberikan bantuan, dan informasi lainnya (Bambang, 2007, hal. 405).
Seiring dengan dunia internet yang semakin berkembang, peran media komunitas sebagai jembatan penghubung antar korban akan semakin strategis ke depannya. Selain itu, radio komunitas bisa menjadi medium yang efektif di tengah bencana.
George D Haddow dan Kim S Haddow, pengarang buku Communications in A Changing Media World (2009) menyebutkan bahwa di masa lalu, biasanya kita baru mengetahui sebuah bencana lama setelah kejadian itu berlalu. Namun, sekarang tidak lagi. Teknologi baru, laptop, telepon genggam, sistem pengirim pesan, kamera digital, dan internet telah mengubah gelombang pengumpulan dan pendistribusian berita. Teknologi-teknologi ini juga merubah jalannya informasi, dari yang dulunya terpusat, dengan model atas bawah melalui pemerintah maupun pekerja media profesional, berubah menjadi lebih dinamis. Kini, semua orang bisa mengirim berita kepada siapa pun, kapan pun juga (hal. 41).
Jika di media konvensional, penonton atau pembaca hanya bersifat pasif, dalam media komunitas, mereka menjadi pihak yang aktif dalam mencipta dan menyebarkan informasi. “Jurnalisme pasrtisipatif menghapus batas antara pihak yang terkena dampak dengan yang meliput berita,” kata Tim Poster, penulis blog First Draft, sebagaimana disebut dalam buku Geroge D Haddow dan Kim S Haddow. Haddows pun menyatakan, “Dalam dunia digital dan komunikasi dua arah, kita semua adalah reporter” (hal. 37).
Selain menjadi penyedia informasi tandingan, jurnalisme warga ini bisa juga menjadi semacam pengawal dari jurnalisme mainstream yang kadang keliru—baik yang disengaja atau karena alpa dan kebodohan. Akan tetapi, jurnalisme warga juga banyak memiliki kelemahan yang juga bisa terjebak dalam kekacauan yang sama. Salah satunya, adalah sulitnya menyaring informasi hoax dan menyesatkan karena lemahnya verifikasi dan editing. Selain juga masih perlunya pendampingan terhadap warga ‘pelapor’ agar bisa menulis di ‘media mereka’ agar bisa memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang informatif, berimbang, dan mendidik.
[1] Di Indonesia memang nyaris tidak ada pelatihan maupun pendidikan tentang jurnalisme peka bencana yang diberikan kepada wartawan peliput bencana. Banyak wartawan yang tidak faham dengan perspektif jurnalisme empati, sehingga kesalahan seperti yang dilakukan reporter tersebut bahkan seringkali tidak disadari sebagai suatu kesalahan. Banyak pekerja media yang melihat korban sebagai obyek berita yang ‘boleh’ dieksploitasi. Akibatnya banyak korban bencana yang menjadi korban media.
[2] Narasumber adalah produser eksekutif peliputan daerah dan luar negeri salah satu stasiun televisi swasta. Wawawancara dilakukan di Jakarta, 30 April 2013 untuk penelitian “Peran Media dalam Pengurangan Risiko Bencana: Studi Perbandingan Peliputan Tsunami di Jepang dan Indonesia” (2014)
[3] Hampir semua media di Indonesia dimiliki oleh perusahaan yang memiliki grup usaha di bidang lain. Bahkan ada media yang pemiliknya juga pengurus partai atau organisasi massa, juga beragam usaha lain yang sering melanggar aturan. Bisa dipastikan, media tersebut tidak akan bisa mengritisi perusahaan atau pemilik perusahaan mereka yang tengah berkasus. Bahkan, media tertentu bisa “dipakai” untuk menyerang saingan bisnis pemilik media.
[4] Tayangan “Negeri Impian”, TV One—yang sahamnya dimiliki keluarga Bakrie—pada 27 September 2009. Sepanjajang tayangan ini saya tidak menemukan suara dari korban yang kecewa atau belum mendapat ganti rugi, atau tetap merasa dirugikan oleh bencana itu. Semuanya berisi komentar positif. Jelas ini melanggar prinsip keberimbangan sebuah tayangan di media massa.
[5] Selamat jalan kepada alm. Yuniawan Nugroho atau Wawan, wartawan vivanews.com, yang tewas dalam liputan di Merapi. Kematian Wawan menambah daftar panjang wartawan Indonesia yang tewas saat bencana, baik bencana alam maupun bencana perang. Bahwa, medan bencana bisa menjadi bencana bagi wartawan juga.
[6] Bias ini, memang tak hanya terjadi oleh media-media di Indonesia. Diskriminasi juga ditampakkan pemerintah dan media di Amerika Serikat terkait bencana Katrina seperti dipaparkan oleh Wailoo, Keith, dkk. dalam Katrina’s imprint: race and vulnerability in America. 2010. Rutgers: The State University of New Jersey.
[7] Naomi Klein (2009) menyebutkan bahwa fase pasca-bencana bisa menjadi titik rawan bagi komunitas lokal. Dia menyebutkan tentang masifnya komoditifiasi bencana oleh pelaku kapitalisme global yang ekspansif, kepentingan bisnis yang disisipkan lewat bantaun, selain juga pengambilalihan aset oleh pemodal luar dengan harga yang murah.
[8] Kompas, Pengungsi Mentawai Masih Terabaikan, Jumat, 11 Febuari 2011
Daftar Pustaka:
Ahmad Arif. 2010. Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Bambang MBK. 2007. Setahun Bergelut dengan Isu Bencana Bumi dalam buku kompilasi Kisah Kisruh di Tanah Gempa. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas: Yogyakarta.
George D Haddow dan Kim S Haddow. 2009. Communications in a Changing Media World, Butterworth-Heinemann.
Milan Kundera. 1999. The Book of Laughter and Forgetting. Herper Perennial: New York.
Macmanus, John H. 1994. Market Driven Journalism, Sage Publications: London.
Masduki. “Wajah Ganda Media Massa dalam Advokasi Bencana Alam”, dalam A.B. Wiyanta. Kisah Kisruh di Tanah Gempa. 2007. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.
Muhammad Fuad dkk. 2006. Sumbangan Tsunami, Tsunami Sumbangan, Piramedia.
Naomi Klein. 2009. The Shock Doctrine. Metropolitan Book: New York.
Daring:
Cooper, Glenda (2007). “Burma’s Bloggers Show Power of Citizen Journalism in a Crises. Reuters Alert Net”, http://www.alertnet.org/db/blogs/30708/2007/09/3-134022-1.htm (tidak lagi aktif), atau http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.india.zestmedia/3925.
Koran:
Kompas, Pengungsi Mentawai Masih Terabaikan, Jumat, 11 Febuari 2011.
*) Dicopy dari Ahmad Arif di http://remotivi.or.id/pendapat/jurnalisme-bencana-tugas-suci-praktik-cemar